BACA JUGA: Bencana di Sumatera Jadi Peringatan, Warga Jateng Serukan Tolak Proyek Perusak Lingkungan
Klaster kedua soal gugatan sistemik berupamunculnya pendapat publik yang menyebut bencana disebabkan oleh eksploitasi hutan dan tambang. Dugaan ini makin kuat dengan temuan kayu gelondongan di sejumlah lokasi banjir.
Klaster ketiga ialah eskalasi politik yang mempertunjukan adanya kritik langsung terhadap figur otoritas pemerintah atas keterlambatan penanganan bencana yang mulai dianggap sebagai krisis legitimasi negara dan kegagalan komunikasi publik. Klaster percakapan ini mempertunjukkan kritik publik yang mengkritik kurangnya kepekaan saat krisis bencana ekologi terjadi.
“Hal yang patut mendapat perhatian kita adalah munculnya narasi disintegrasi seperti kata kunci ‘Merdeka’ di wilayah Aceh dan Nias sebagai bentuk protes atas abainya pemerintah pusat. Hal ini menandakan bencana telah bertransformasi menjadi alat tawar politik yang berpotensi mengancam stabilitas nasional,” ungkap Neni.
Rekomendasi strategis DIR
Berdasarkan matriks risiko dan temuan peta isu dalam data kajian media monitoring ini, DIR merekomendasikan beberapa hal berikut.
Pertama, akselerasi status dan kehadiran simbolis, seperti misalnya segera menetapkan status bencana nasional untuk menjawab “suara keras” dari daerah seperti Nias dan Aceh, yang merasa terpinggirkan dalam masa-masa berat seperti saat ini. Menghadirkan simbol empati negara melalui kunjungan langsung pejabat tinggi. Dan jika perlu, menetap di lokasi untuk meredam narasi “Pejabat Tak Berempati”.
Rekomendasi kedua yakni transparansi dan penegakan hukum (gugatan sistemik). Hal ini bisa dengan investigasi terbuka dan audit terhadap 31 perusahaan sektor ekstraktif di Sumatera yang diduga memicu bencana ekologis. Mempublikasikan hasil investigasi “kayu gelondongan” untuk menunjukkan bahwa negara berpihak pada keselamatan rakyat, bukan kepentingan korporasi.
BACA JUGA: Bantu Krisis Sanitasi Pascabencana, Undip Kirim Mesin Penjernih Air ke Lokasi Banjir Sumatra Barat
Ketiga, mitigasi narasi dan kontra-disintegrasi. Hal ini bisa dengan pendekatan dialogis segera dengan tokoh masyarakat dan aktivis lokal di pengungsian guna memutus rantai narasi separatisme organik. Mengaktifkan kontra-narasi di TikTok dan Instagram untuk mengimbangi konten provokatif dengan informasi pemulihan yang nyata dan transparan.
Keempat, penanganan krisis ekonomi mikro. Pemerintah mesti terus mengintervensi harga pangan lokal di wilayah terdampak untuk meredam kemarahan akun-akun organik (human) yang menyuarakan krisis biaya hidup dan kelumpuhan logistik. Apalagi di tengah suasana Natal dan berlanjut dengan perayaan tahun baru, kebutuhan akan bahan pokok ini menjadi semakin mendesak. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi













