Kebijakan ini menuai pro dan kontra, terutama dari pelaku usaha baru yang merasa belum mampu menambah beban biaya di tengah persaingan ketat industri kopi dan kuliner.
Menurutnya, musik bukan hanya pelengkap, tetapi bagian dari identitas suasana Blue Coffee. Di area indoor, terutama di lantai satu dan dua yang sering pengunjung gunakan untuk mengerjakan tugas, keberadaan musik menciptakan atmosfer yang nyaman.
“Kalau musik dimatikan, rasanya hampa. Beda kalau di rooftop, masih ada suara angin, motor, bahkan kadang pengunjung minta musik dimatikan di sana,” jelas Fuji.
BACA JUGA: Ribut-ribut Bagi Hasil Musik Soegi Bornean, Begini Hitungan Royalti Lagu Berdasarkan UU Hak Cipta
Meskipun polemik ini berlangsung, pengaruh terhadap jumlah pengunjung di kafe yang berdiri pada Februari 2025 ini tidak terlalu signifikan. “Ada sedikit penurunan, tapi tidak sampai drastis,” katanya.
Inggit, salah satu pengunjung Blue Coffee mengungkapkan keresahannya terhadap kebijakan royalti yang ternilai belum jelas akan merugikan pengusaha.
“Enggak ada lagu ya sepi, tapi kalau putar lagu yang punya kafe harus bayar lagi. Mereka kan juga langganan Spotify, jadi kan bayar double kalau gitu,” ujarnya.
Fuji menambahkan, kebijakan aturan untuk pembayaran dan mekanisme harus benar-benar jelas bagi pelaku usaha. Meskipun harus menata ulang keuangan kafe, selama aturan dan perhitungan royalti jelas arah dan tujuannya, Fuji mengaku siap membayar kewajiban lisensi.
“Selama jelas dan terarah uangnya kemana, ya oke aja sih,” tutupnya. (*)
Editor: Farah Nazila