Karena itu, Pigai menilai persoalan yang muncul dalam pelaksanaan MBG di Indonesia harus dipandang secara proporsional. Ia menekankan, pendekatan berbasis hak asasi manusia atau HAM tak menilai kesalahan dalam proses pembangunan, melainkan memperbaikinya.
“Dalam konteks human right, ketika Anda sedang dalam pekerjaan tidak boleh dinilai tapi diperbaiki. Tidak boleh men-judge bahwa kamu salah,” tegasnya.
BACA JUGA: Lulus Sertifikasi Higienitas, 17 Dapur MBG di Blora Resmi Kantongi SLHS, 40 SPPG Lainnya Menyusul
Pigai kemudian memberi perumpamaan sederhana. Menurutnya, proses jalannya program MBG ibarat orang yang sedang berjalan menuju garis akhir. Kata dia, yang benar bukan menghentikan langkah karena belum sampai, melainkan memperbaiki arah agar bisa tiba di tujuan.
“Saya jalan dari sini sampai di pintu sana, saya sudah sampai di sini Anda marah. Anda men-judge bahwa kamu tidak sampai di finish. Yang benar adalah memperbaiki saja,” katanya.
Lebih lanjut, Pigai mengungkapkan dampak ekonomi dari pelaksanaan MBG juga cukup signifikan. Ia mengklaim, dari total 4,9 juta angkatan kerja baru setiap tahun, program MBG sudah mampu menyerap sekitar 1,5 juta di antaranya.
Angka itu menurutnya menjadi capaian penting dalam menekan pengangguran sekaligus memperkuat ekonomi masyarakat bawah.
“Kalau dari setahun itu angkatan kerja kita hampir 4,9 juta, ada 1,5 juta dari MBG ter-cover. Sehingga yang tersisa 3 juta, dan 3 juta itu dibuka lapangan kerja yang baru,” tutup Pigai. (*)
Editor: Farah Nazila













