Lebih lanjut, Edvra mendorong pemerintah mengutamakan pendekatan literasi digital ketimbang melakukan pembatasan akses. Sehingga, pengguna internet dapat lebih kritis merespons hoaks dan disinformasi.
“Prinsipnya bukan membatasi, tapi meliterasi. Wacana kebijakan yang harusnya diciptakan bukan untuk menyasar saya, tapi akhirnya saya juga kena, jadinya perlu dipertimbangkan lagi hal ini,” pungkas Edvra.
Usulan anggota dewan soal pembatasan medsos, dari Gerindra hingga PKB
Sebelumnya, Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Bambang Haryadi, mengusulkan ide agar satu warga negara hanya punya satu akun media sosial tiap platform medsos. Bambang menyebut ide ini untuk menghindari akun anonim maupun akun palsu.
Hal itu Bambang Haryadi sampaikan saat sesi doorstop wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 September 2025 lalu.
Pernyataan tersebut muncul saat ia menjawab pertanyaan mengenai isu liar di media sosial yang menyebutkan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, keponakan Presiden Prabowo Subianto, mundur dari anggota DPR RI demi kursi menteri.
“Jadi kita kan paham bahwa sosial media itu benar-benar sangat terbuka dan susah, isu apa pun bisa tersebar di sana. Kadang kita juga harus cermat juga dalam menanggapi isu sosial media itu,” ujar Bambang Haryadi.
Ia menyebut, usulan satu pengguna satu akun medsos itu berkaca dari kebijakan satu orang satu nomor telepon yang berlaku di negara Swiss.
“Bahkan kami berpendapat bahwa ke depan perlu juga single akun terintegrasi, jadi setiap warga negara hanya boleh memiliki satu akun di setiap platform media sosial. Kami belajar dari Swiss misalnya kan, satu warga negara hanya punya satu nomor telepon, karena nomer telepon tersebut terintegrasi dengan fasilitas bantuan pemerintah, sosmed dan lain-lain,” ujar dia.
Bambang menyebut, informasi yang disampaikan di media sosial harus dapat dipertanggungjawabkan. Pihaknya pun menyoroti fenomena akun anonim dan buzzer alias pendengung yang belakangan memang marak berseliweran di berbagai media sosial.
“Kita kan paham bahwa era sosial media ini sangat sedikit brutal ya, kadang isu yang belum pas, kadang dimakan dengan digoreng sedemikian rupa hingga membawa pengaruh kepada kelompok-kelompok yang sebenarnya kelompok-kelompok rasional,” ujarnya.
Larangan second account
Senada, Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Oleh Soleh, mengusulkan agar ada aturan yang melarang pengguna memiliki akun samar atau “second account“.
Jika memiliki lebih dari satu akun masih boleh, pengguna harus menggunakan identitas yang jelas dan dapat ia pertanggungjawabkan.
“Jangan ada second account lagi, nih saya sampaikan. Kalau pun mau bikin double account, ya boleh. Tetapi, ID-nya harus jelas, alamatnya jelas, siapa pemiliknya, siapa yang bertanggung jawab,” ujar Oleh, Kamis, 28 Agustus 2025 lalu.
Hal itu Oleh sampaikan sebagai dukungan terhadap langkah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk menumpas konten-konten disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK) di media sosial.
Oleh menilai masih banyak konten bermuatan negatif di medsos sehingga perlu ada pembatasan.
“Seperti apa yang saya sampaikan sebelumnya bahwa dunia digital kita tidak sehat. Banyak provokasi, adu domba, bully, intimidasi, penggiringan opini palsu, dan yang lain-lain. Solusinya adalah, sudah batasi saja,” ujar anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi
									












