Jateng

ESDM Jateng Klaim Tambang Gunung Slamet Aman, Pengamat: Warga yang Terimbas, Orang Dinas Tidak

×

ESDM Jateng Klaim Tambang Gunung Slamet Aman, Pengamat: Warga yang Terimbas, Orang Dinas Tidak

Sebarkan artikel ini
Tambang Gunung Slamet
Tampilan aktivitas tambang di Gunung Slamet via Google Earth. (Foto: Instagram/@purwokertoonline)

SEMARANG, beritajateng.tv – Tambang di lereng Gunung Slamet yang Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah sebut tak akan berpotensi menimbulkan bencana seperti di Pulau Sumatera mendapat kritik pengamat lingkungan.

Pakar lingkungan dan tata kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila, menyayangkan pola pemikiran pejabat pemerintah yang cenderung tak preventif.

Ia mencontohkan longsor yang belum lama ini terjadi di daerah Banjarnegara, yang mana tak ada pertambangan di daerah sana.

“Ya kalau sekarang memang belum. Lah, jangankan itu, kemarin saja hujan di Banjarnegara mengakibatkan longsor. Di sana enggak ada tambang loh, hanya perkebunan. Itu saja sudah menimbulkan permasalahan,” ujar Mila saat beritajateng.tv hubungi via panggilan WhatsApp, Minggu, 14 Desember 2025.

BACA JUGA: Dinas ESDM Jateng Pastikan Tambang di Gunung Slamet Tak Akan Bikin Bencana Seperti di Sumatera: Skalanya Kecil

Mila pun menilai pemerintah tak cukup menaruh perhatian kepada potensi bencana yang mungkin terjadi.

“Saya pikir pemerintah itu yang tidak punya kepeduliannya terhadap terhadap lingkungan dan dampak yang timbul dari kegiatan [tambang] itu. Nanti kalau sudah terjadi, baru kemudian repot melakukan inilah, itulah. Itu kan namanya terlambat,” tegasnya.

Dalam hematnya, pemerintah kerap kali bertindak apabila bencana sudah telanjur terjadi.

“Jadi yang selalu pemerintah lakukan kan seperti itu, sudah ada kejadian baru kemudian mereka merespons. Nah, itu kan harusnya jangan kuratif ya, tapi preventif,” ucap Mila.

Mila soroti warga setempat yang paling terdampak dengan adanya aktivias tambang di lereng Gunung Slamet

Lebih jauh, Mila menegaskan persoalan utama aktivitas pertambangan bukan semata soal skala atau perbandingan dengan bencana di daerah lain, melainkan siapa pihak yang menanggung dampaknya.

“Sebenarnya tambang itu untuk siapa? Untuk siapa? Apakah memang itu untuk warga?” ujar Mila.

Menurutnya, dalam banyak kasus, hasil tambang tidak masyarakat setempat nikmati, sementara dampak lingkungan justru harus warga sekitar lokasi tanggung.

“Kadang tambang itu sebenarnya bukan untuk warga masyarakat setempat. Diproduksi di situ tapi dikonsumsi oleh orang lain di luar dari warga itu. Malah warga itu yang kemudian mendapatkan dampaknya,” tegasnya.

Ia mencontohkan aktivitas tambang galian C yang berpotensi menimbulkan polusi udara hingga longsor apabila tidak disertai rehabilitasi lingkungan.

“Kalau tambangnya galian C akan menimbulkan polusi udara, kemudian nanti kalau tidak ada rehabilitasi maka terjadi longsor,” ucap Mila.

BACA JUGA: Viral Tambang di Banyumas Kena Protes, Ahmad Luthfi: Videonya Kasih Saya, Yang Tahu Kamu Bukan Saya

Tak hanya itu, Mila juga menyinggung risiko aktivitas panas bumi yang dampaknya langsung masyarakat sekitar rasakan.

“Misalnya panas bumi yang ditambang, maka warga situ juga yang akan mendapatkan. Misalnya bagaimana dengan pipa-pipanya yang tiba-tiba bocor dan sebagainya,” katanya.

Pihaknya menekankan, warga menjadi pihak pertama yang terdampak apabila terjadi masalah, bukan instansi pemerintah di tingkat provinsi.

Oleh sebab itu, ia mengingatkan pemerintah agar tidak menyederhanakan persoalan dengan membandingkan kondisi tambang di Jawa Tengah dengan bencana di wilayah lain seperti Sumatera.

“Siapa yang terkena dampak pertama? Apakah orang ESDM yang di provinsi? Tentu tidak kan? Tapi warga. Nah, harus pertimbangkan itu. Jadi jangan hanya memikirkan bahwa ini itu tidak akan terjadi seperti yang Sumatera,” pungkas Mila.

Alasan ESDM yakin pertambangan di lereng Slamet tak akan timbulkan bencana seperti di Sumatera

Sebelumnya, Beredar unggahan viral di media sosial yang kuat dugaan merupakan aktivitas tambang Gunung Slamet di Google Earth.

Dalam akun Instagram @purwokertoonline yang tersiar lima hari lalu, tampak ada galian bak “cacing” dalam video tersebut. Bahkan, salah satu titik lokasi yang diduga tambang tersebut diganti nama menjadi “Arep Dadi Apa Ya Kie?”.

“Gunung Slamet sedang jadi sorotan. Di tengah bencana di Sumatera, dugaan tambang di kawasan hutannya memunculkan tanda bahaya yang tak boleh diabaikan,” tulis akun tersebut..

“Di tengah banjir dan longsor besar yang terjadi di Sumatera—yang bahkan membawa gelondongan kayu—muncul kabar dugaan aktivitas tambang di kawasan hutan Gunung Slamet. Beberapa akun, menunjukkan titik kerusakan di wilayah sekitar Gunung Slamet, Kekhawatirannya sama: kerusakan hutan bisa memicu bencana serupa di kemudian hari,” lanjutnya.

Menanggapi unggahan itu, Kepala Cabang (Kacab) Dinas ESDM Jawa Tengah Wilayah Slamet Selatan, Mahendra Dwi Atmoko, pun angkat bicara.

Mahendra menuturkan, foto Google Earth itu terekam satelit pada tahun 2018 silam. Saat ini, kata dia, kawasan tersebut sudah kembali hijau. Ia menyebut galian itu bukan tambang, namun pembukaan jalan untuk proyek panas bumi.

BACA JUGA: Warga Baseh Banyumas Protes Tambang PT DBA, Dinas ESDM Jateng: Sudah Kami Tindak Sebelum Viral

“Nah, itu sebenarnya adalah gambar tahun 2018 pada waktu proyek panas bumi. Jadi waktu pembukaan akses jalan dan tampak proyek. Itu masih yang tahun 2018 di Google Earth,” ujar Mahendra saat beritajateng.tv hubungi via panggilan WhatsApp, Kamis, 11 Desember 2025.

Mahendra pun mengklaim kegiatan pertambangan yang ada di Gunung Slamet tak akan menimbulkan longsor seperti di Cilacap maupun Banjarnegara.

“[Kontur tanahnya] beda jauh, kalau masalah ketakutan longsor kaya yang di Cilacap itu ya beda jauh,” tegasnya.

Warga Jawa Tengah dan aktivis pun khawatir aktivitas tambang di Gunung Slamet akan berakibat bencana banjir bandang seperti di Sumatera.

Ia menyebut, tambang di Jawa Tengah seperti Gunung Slamet skalanya kecil. Kata dia, itu tak mungkin akan menimbulkan bencana longsor maupun banjir bandang seperti di Sumatera.

“Wah, apalagi bandingkan Sumatera ya. Tambang-tambang yang beroperasi di Jawa Tengah seperti Banyumas itu tambang skala kecil. Tambang skala kecil itu paling-paling luas izinnya hanya 5 hektar.e Tambangnya saja sekarang masih hanya sekitar 2 hektaran,” ucap Mahendra.

“Belum 5 hektare, belum, masuk hanya sekitar 2 hektare. Sampai bisa menyebabkan longsor kayak di Sumatera kayaknya kemungkinan besarnya jauh ya. Masih jauh,” pungkasnya. (*)

Editor: Mu’ammar R. Qadafi

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan