Jateng

Fenomena Kekerasan Remaja di Semarang: Ledakan Emosi dari Krisis Jati Diri

×

Fenomena Kekerasan Remaja di Semarang: Ledakan Emosi dari Krisis Jati Diri

Sebarkan artikel ini
fenomena kekerasan remaja
Dosen Psikologi UNNES, Nuke Martiarini, S.Psi., M.A. (Yuni Esa Anugrah/beritajateng.tv)

SEMARANG, beritajateng.tv – Meningkatnya kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja menjadi salah satu fenomena yang tak bisa dipandang sebagai perilaku semata.

Sebagai contoh di Kota Semarang, beberapa kasus melibatkan remaja yang belum genap 17 tahun sebagai pelaku kekerasan, terutama di jalanan.

Di balik tindakan tersebut, kerap tersembunyi krisis identitas dan tekanan psikologis yang tak tertangani. Hal ini terungkap dari Dosen Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Nuke Martiarini, S.Psi., M.A.

Banyak anak atau remaja yang menjadi pelaku kekerasan sedang mengalami frustrasi mendalam terhadap kondisi hidupnya baik secara sosial, ekonomi, maupun emosional.

Alih-alih mampu mengelola emosi secara sehat, mereka melampiaskan rasa kecewa itu pada pihak lain yang mereka anggap lebih lemah.

“Seringkali, mereka merasa tidak cukup baik dari orang lain. Terutama ketika melihat perbedaan kondisi secara finansial atau gaya hidup di media sosial. Dari situ muncul tekanan sosial, rasa kurang, dan akhirnya frustrasi,” ujar Nuke saat beritajateng.tv temui pada Sabtu, 19 Juli 2025.

BACA JUGA: Kasus Kekerasan Seksual Terus Meningkat, PKBI Jateng Edukasi Remaja Lewat Program Health Rangers

Di usia remaja yang memang rentan secara emosional, apalagi dengan minimnya pendampingan dari orang tua atau lingkungan sekitar, anak-anak ini kesulitan mengenali dan mengekspresikan perasaan secara sehat. Hal itu mendorong mereka melakukan pelampiasan negatif, salah satunya melalui kekerasan.

“Karena tidak tahu harus berbuat apa, mereka mencari ‘korban’ untuk dijadikan pelampiasan emosi. Ini adalah cara instan agar mereka merasa punya kendali, merasa di lihat, atau sekadar mendapatkan kepuasan emosional sementara,” tambahnya.

Ia menjelaskan bahwa fenomena ini diperkuat dengan insting dasar manusia untuk mempertahankan diri.

“Saat mereka merasa inferior, mereka mencari cara lain untuk ‘menang’. Salah satunya menjadi dominan melalui kekerasan. Di situ mereka merasa menjadi pusat perhatian, meski dengan cara yang salah,” kata Nuke.

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan