SEMARANG, beritajateng.tv – Skandal kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) mendapatkan sorotan publik. Hal ini lantaran melibatkan dosen bergelar Guru Besar dan korban yang berstatus mahasiswa.
Psikolog Dra. Probowatie Tjondronegoro, M.Si., menyebut hal itu terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan akademik antara dosen dan mahasiswa. Namun, ketimpangan kuasa ini bukan hanya pada proses hukum, tetapi juga luka psikologis yang dalam.
“Ada korban yang setelah dilecehkan tidak mau kuliah lagi, ada yang takut menikah karena merasa dirinya terluka. Tentu ini menjadi trauma yang panjang,” tutur Probowatie saat beritajateng.tv hubungi pada Rabu, 30 Juli 2025.
Sebagai contoh, Probowatie menyebut beberapa kliennya yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami trauma mendalam hingga depresi berat.
“Saya punya klien yang mencoba bunuh diri setelah mengalami pelecehan. Ada juga yang terus merasa rendah diri,” ujarnya.
Trauma ini, kata Probowatie, semakin parah oleh sikap lingkungan sekitar yang cenderung menghakimi.
“Korban sering merasa malu, disalahkan, dan tidak didengar. Padahal yang salah jelas pelaku,” katanya.
BACA JUGA: Skandal Unsoed: Psikolog Tegaskan Ketimpangan Kuasa Picu Kekerasan Seksual di Kampus
Dalam kasus kekerasan seksual, kerap bermunculan stigma yang menyalahkan korban karena dianggap tidak menolak, padahal posisi korban jauh lebih lemah.
“Pelaku dengan status guru besar hampir tidak kehilangan apa-apa. Jabatan tetap, reputasi bisa diperbaiki. Tapi korban menanggung beban stigma dan trauma yang mendalam,” ujar Probowatie.
Berdasarkan informasi yang beritajateng.tv himpun, pihak Unsoed telah membenarkan adanya kekerasan seksual yang dugaan kuat salah satu dosen lakukan terhadap mahasiswa.
Pihak dekanat kampus akan menindaklanjuti aspirasi dan tuntutan mahasiswa serta menyatakan persetujuan penuh pada tuntutan untuk mencabut seluruh hak akademik dan administratif pelaku secara permanen di lingkungan kampus.