“Konsepnya memang nguri-nguri kebudayaan. Karena di Kampung Sekayu penuh sejarah, ada NH Dini, ada masjid tertua di Jateng, kita juga punya pusat pemerintah pada 1670-an,” lanjutnya.
Kedai Gethe yang Jauh dari Teknologi
Kafe Gethe memang konsisten dengan konsep jadulnya. Selain bangunan dan cerita yang penuh sejarah, kafe ini juga jauh dari teknologi.
Di tengah kemajuan zaman tentu banyak kafe yang kemudian menawarkan kemudahan transaksi serta layanan internet gratis. Namun berbeda dengan Kafe Gethe.
“Kami memang nggak pasang wifi, televisi, bahkan transaksi digital nggak ada, biar apa? Biar semua berdialog. Saya berharap kultur orang-orang di sini ya kultur berdiskusi, saling ngobrol dengan teman-temannya,” ungkap Ari.
Karena keunikan konsep tersebut lah, Ari mengaku banyak perantau Kota Semarang yang kemudian saat pulang kampung selalu menyempatkan waktu berkunjung ke Kafe Gethe. Menurutnya, hal tersebut karena suasana di kafenya layaknya rumah nenek.
Sementara untuk menu, Ari juga tak lupa menyelipkan prokem Semarangan. Yaitu Kahath yang berarti makanan, Ngoce berarti minuman, dan Ciak untuk cemilan.
Masalah harga pun terbilang sangat terjangkau. Memiliki tagline ‘Regane Murah Rasane Rak Kalah’, harga yang ia tawarkan berkisar antara Rp 8 ribu hingga Rp 25 ribu saja.
BACA JUGA:Lezatnya Gak Ada Obat, Ini 4 Lumpia Terenak di Semarang, Warga Lokal dan Wisatawan Wajib Coba
“Signaturenya di sini Kopi Luwak, ada juga Kopi Kramatjati yang pakai nama kampung sebelah, atau Kopi Mas Wali dan Kopi Mbak Wali, sesuai Wali Kota Semarang,” pungkasnya.(*)
Editor: Farah Nazila