Menurut Ayu, kinerja polisilah yang kendala besar dalam menangani kekerasan seksual digital ini. Yakni, ketika pihak kepolisian tidak melaksanakan tugas dengan semestinya.
“Proses di kepolisian terhambat karena tidak diketahui pelakunya dan polisi meminta pendamping atau korban untuk mencari pelaku. Padahal kan mencari pelaku bukan tugas polisi,” papar Ayu.
Selain kesulitan dalam menemukan pelaku, keterpenuhan bukti juga menjadi hambatan tersendiri. Menurut Ayu, UU TPKS belum juga terimplementasikan dengan baik.
BACA JUGA: LRC-KJHAM Catat 5 Kasus Femisida di Jawa Tengah Selama 2024, Kekerasan pada Perempuan Pun Tinggi
Semestinya, satu keterangan korban tambah satu alat bukti sudah cukup untuk menyeret pelaku ke meja hijau. Namun nyatanya, kepolisian hingga saat ini belum menganggap dua alat bukti itu sebagai hal yang cukup.
“Sampai saat ini kami berharap tahun 2025 polisi lebih aktif memberikan pendampingan kepada korban dan juga implementasi UU TPKS dengan baik,” harapnya.
Untuk itu, Ayu berharap masyarakat dapat lebih sadar terhadap keamanan digital. Terutama, yang menyangkut hal-hal privasi seperti foto ataupun video.
“Ketika kita mendistribusi atau mengirimkan foto dan video, itu memang hak kita, tapi kita perlu mengetahui dampaknya bagaimana ke depan, apalagi dikirim ke orang yang tidak dikenal,” tandas Ayu. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi