“Saya kira, Milan Kundera merasa beruntung ketika berada di Prancis karena di Ceko dia agak sedikit terhalangi. Tapi ketika di Prancis, seolah-olah dia menemukan ruang kebebasan apalagi dia berteman dengan sastrawan-sastrawan hebat, jadi dia semakin leluasa menuangkan gagasan-gagasan dalam berkarya,” lanjut Sunahrowi.
Milan Kundera dan Pramoedya Ananta Toer, jaga idealisme hingga akhir hayat
Sunahrowi kemudian tergelitik untuk membandingkan Kundera dengan sastrawan besar Indonesia yakni Pramoedya Ananta Toer. Menurutnya, Kundera dan Pram sama-sama memiliki pendirian yang kokoh. Hanya saja, sebagai sesama orang Indonesia, Sunahrowi merasa energi Pram dalam buku-bukunya lebih hebat daripada Kundera.
“Dalam energi, saya kira Pramoedya lebih hebat. Karya-karya Pramoedya nggak ada bosennya untuk saya baca, entah yang judulnya remeh-temeh seperti Gadis Pantai, apalagi tetraloginya. Tapi hal yang menyamakan mereka berdua adalah mereka tetap menjaga idealismenya sampai meninggal,” ungkap Sunahrowi.
BACA JUGA: Unik! Tunjukkan Kecintaan akan Budaya Lokal, Dosen Bahasa Inggris Ini Tulis Novel Berbahasa Jawa
Sementara itu, Adhitia Armitrianto Ketua Umum Dewan Kesenian Semarang menyambut baik kegiatan ini. Terlebih, Prancis merupakan salah satu kiblat dalam dunia kesenian.
“Prancis saya kira menjadi salah satu kiblat dalam dunia kesenian, tidak hanya sastra, tapi juga film, seni rupa, dan lainnya. Dekase sangat berterima kasih kepada AF Semarang telah menggandeng Dekase untuk kegiatan ini. Pada dasarnya, Dekase terbuka untuk kerja sama dengan siapa pun,” pungkasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi