BACA JUGA: Ratusan Pecinta Layang-layang Mengikuti Festival Layang-layang Hias di Blora
Awalnya, Maganol bukanlah toko layang-layang. Sang ayah dulunya adalah guru di sekolah Tionghoa.
Namun, pasca peristiwa G30S/PKI,
banyak sekolah etnis Tionghoa tutup dan mengubah hidup mereka selamanya.
“Orang tua saya sempat bingung. Akhirnya coba-coba jualan tembakau, roti kering, sampai onderdil sepeda. Terus lama-lama mainan, termasuk layangan,” kenang Mulyono.
Nama “Maganol” sendiri berasal dari alamat rumah mereka: MT Haryono Nomor 530 yang singkatannya menjadi Ma-Ga-Nol. Nama yang sederhana, tapi membawa sejarah panjang dan loyalitas pelanggan lintas generasi.
Bagi Maganol, kemarau bukan sekadar perubahan musim. Dia adalah momen kebangkitan. Dalam masa puncak seperti sekarang ini, penjualan meningkat drastis, baik dari pembeli eceran maupun grosir.
“Kalau musim layangan tiba, kita bisa jual satu sampai dua bal benang per hari. Satu bal itu isinya seribu. Kami juga kirim ke banyak daerah juga seperti Magelang dan Jogja. Tapi paling ramai tetap di toko saat anak-anak mulai ramai main layangan,” paparnya.
Harga eceran layang-layang yang dijual Maganol berkisar antara Rp1.000 hingga Rp2.000 tergantung ukuran dan kualitas.
Kendati era digital merajalela, Mulyono melihat bahwa daya tarik mainan tradisional belum sepenuhnya padam.
Namun, untuk menjaga bisnis musiman seperti ini tak mudah. Barang rentan rusak jika salah penyimpanan. Pasalnya benang dan layangan itu musuh utamanya adalah air dan kutu bambu.
“Pernah juga satu tahun penuh nggak ada musim layangan. Nggak tahu kenapa. Tapi ya tetap kita buka. Tahu-tahu anak-anak mulai main dan toko kami mulai ramai lagi,” bebernya.
Setelah lebih dari 60 tahun, Mulyono masih mengelola Maganol dengan semangat yang sama. Dia mulai memegang penuh toko ini sejak awal 1980 dan berharap ada yang melanjutkan meski ia sendiri tak bisa memastikan.
“Anak saya dua. Yang sulung sudah meninggal. Kalau ada yang mau nerusin, ya syukur. Tapi semua kan nggak bisa dipaksakan,” tandasnya.
Dari rumah toko yang sederhana di MT Haryono, Maganol tetap berdiri. Setiap musim kemarau, ia kembali menghidupkan langit Semarang dengan warna-warni layangan dan kenangan masa kecil yang tak lekang oleh waktu. (*)
Editor: Elly Amaliyah