Seiring berjalannya waktu, Komunitas Semai kemudian mencoba menciptakan ruang-ruang pertemuan yang hangat dan dekat. Yaitu antara para korban dan penyintas pelanggaran hak asasi manusia dengan para orang-orang muda.
“Kami melihat, dalam skala dan konteks yang beragam, ada keterputusan kisah-kisah pelanggaran HAM masa lalu ke sebagian dari orang- orang muda sekarang, meski kisah-kisah itu bermunculan juga dalam berbagai bentuk,” ucapnya.
Menurut Pupung, penyebab dari keterputusan kisah pelanggaran HAM ke anak muda sangat beragam. Mulai dari penyajian yang tidak menarik, keterbatasan ruang-ruang pertukaran wacana, distribusi pengetahuan yang tidak strategis, hingga upaya-upaya menyembunyikan kisah-kisah itu oleh negara.
BACA JUGA: Ajak Eksplorasi Sejarah dengan Cara Kekinian, Yuk Kenalan dengan Komunitas Sigarda!
Di sisi yang lain, kisah-kisah pelanggaran HAM sering kali hanya memunculkan para elit-elit politik dan pelaku. Cerita personal, khususnya yang dialami para korban dan penyintas seringkali tidak muncul atau bahkan tidak dianggap penting untuk muncul.
“Padahal, cerita personal yang penuh emosi ini yang bisa membuat banyak orang untuk berempati. Mencakup kisah-kisah para penyintas menghadapi, bertahan, dan melawan ketidakadilan yang mereka alami, tidak melulu soal siksa dan derita,” ujar Pupung.
Pihaknya percaya bahwa empati lah yang bisa menggerakkan dan menguatkan banyak orang. Oleh karenanya, Situs bersemai.org berkomitmen untuk menghadirkan berbagai kisah pelanggaran HAM.
“Situs ini juga menjadi prasasti hidup atas kerja-kerja Semai dan para anggotanya di isu HAM yang sudah berlangsung sejak sebelum Semai berdiri,” tandasnya. (*)
Editor: Farah Nazila