SEMARANG, beritajateng.tv – Salah satu korban dalam kasus konten asusila berbasis kecerdasan buatan (AI) Chiko Radityatama Agung Putra, mengaku tidak melaporkan hal yang dialaminya ke pihak sekolah.
Salah satu korban tersebut berinisial H, yang menganggap pihak sekolah terkesan menutup-nutupi kasus dan tidak memberikan ruang aman bagi korban untuk berbicara. Sikap pasif sekolah membuat para korban merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan.
“Setelah tahu sendiri tabiat sekolah kayak gimana, kami sudah enggak percaya lagi. Sekolah enggak bantu nyelesaikan, malah kayak menyulitkan,” ungkapnya kepada beritajateng.tv pada Jumat, 24 Oktober 2025.
Menurutnya, ada beberapa korban lain yang sempat melapor ke sekolah. Namun, laporan itu disebut tidak pernah ditindaklanjuti dengan serius.
“Kami awalnya masih berusaha percaya, tapi enggak ada tindak lanjut apa-apa, malah seperti diulur-ulur. Akhirnya kami memilih jalan hukum sendiri,” ujarnya.
Korban Akhirnya Lapor Polisi Bersama 15 Korban Lain
Karena merasa terabaikan, H bersama 15 korban lainnya akhirnya melapor ke pihak kepolisian dengan pendampingan tim kuasa hukum.
“Kami enggak mau masalah ini berhenti di sekolah aja. Ini sudah masuk ranah kriminal, jadi harus ada proses hukum. Kalau cuma disanksi sosial, nanti pelaku bisa ngulangin lagi,” tegasnya.
BACA JUGA: Unjuk Rasa Kedua, Siswa SMAN 11 Semarang Desak Kepsek Mundur, Nilai Tak Transparan Tangani Kasus AI Chiko
Ia juga menyebut hingga kini belum ada permintaan maaf pribadi dari pelaku maupun keluarganya.“Enggak pernah ada komunikasi atau permintaan maaf. Baik dari dia maupun keluarganya,” ujarnya.
Selain menuntut keadilan di ranah hukum, H juga berharap pihak kampus tempat pelaku berkuliah, Fakultas Hukum Undip, dapat mengambil langkah tegas.
“Kalau bisa di – DO aja. Buat apa kuliah hukum kalau enggak ngerti norma hukum,” kata H dengan nada kecewa.
Klarifikasi Tertutup Jadi Titik Kekecewaan
Salah satu puncak kekecewaan para korban adalah ketika pelaku, Chiko, di berikan kesempatan klarifikasi secara tertutup di dalam ruangan sekolah, bukan di lapangan seperti yang sekolah janjikan sebelumnya.
“Tapi malah diam-diam di ruangan dan direkam buat diunggah. Kami disuruh terima begitu saja, itu enggak adil,” tutur H.













