Di Surakarta misalnya, tari merupakan aktivitas sehari-hari, sehingga anak laki-laki berlatih menari adalah hal yang biasa.
“Aku iri dengan Kota Solo yang luar biasa karena regenerasinya berjalan dengan baik. Di Jogja juga begitu, makanya mereka disebut kota budaya,” ungkap Totok.
Sementara itu, salah satu penari laki-laki di Sobokartti adalah Rafael Pramudya. Siswa SMKN 1 Semarang tersebut telah menekuni seni tari selama tiga tahun terakhir.
BACA JUGA: Bukan Lagi Sesuatu yang Jadul, Rosmala Sari Dewi Ajak Anak Muda Lestarikan Tari Tradisional
Meski begitu, ia mengaku masih sering merasa malu apabila tampil di depan teman-teman sekolahnya.
“Kalau di sini nggak malu, kalau di sekolah malu. Mereka taunya nari untuk cewek tok (saja), belum tahu kalau di luar penari cowok itu banyak. Tapi aku berusaha pecaya diri soalnya guru nari juga biasa aja,” katanya.
Untungnya, Rafael mendapat dukungan penuh dari keluarga. Sang ibunda dan juga pamannya bahkan memiliki kiprah panjang di dunia seni tari.
Saat ini, ia telah mengisi beberapa agenda pemerintah seperti Dugderan dan Rakernas beberapa waktu yang lalu. Sementara tiga tari kesukaannya adalah Tari Warak Dugde, Tari Gado-Gado Semarang, dan Tari Beksan Endah.
“Senengnya kalau dapet job, dapat uang kan, bisa cari uang sendiri. Karena masih junior sekali tampil sekarang Rp400 ribu,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi