“Salah satu contoh, misalnya kasus gratifikasi itu menurut saksi ahli Mahrus Ali jika jumlahnya itu besar dan antara suap itu sifatnya aktif dan ada meeting of mind. Sementara kalau gratifikasi itu pasif dan tidak ada meeting of mind dan jumlahnya itu kecil,” jelas dia.
Dalam hal ini, lanjut Erna, seharusnya ada perbedaan yang signifikan. Baik suap maupun gratifikasi sama-sama dinyatakan terbukti, padahal sifatnya berbeda. Hal-hal seperti ini tentu masih akan pihaknya kaji.
“Jadi akan kami lihat, kami kaji berdasarkan teori-teori dan ketentuan-ketentuan yang ada. Karena kami juga sudah menghadirkan Ahli Hukum Administrasi Negara dan juga Ahli Pidana. Dengan adanya waktu tujuh hari, kami akan pikir-pikir dan diskusi dengan klien kami,” terangnya.
BACA JUGA: Sidang Vonis Kasus Korupsi Mbak Ita-Suami, Majelis Hakim: Keduanya Kerja Sama Lakukan Tindak Pidana
Sebelumnya, mantan Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita menerima vonis 5 tahun penjara. Majelis hakim juga memberikan sanksi denda Rp300 juta dengan ketentuan kurungan 4 bulan jika uang itu tidak terpenuhi.
Hakim Ketua Gatot Sarwadi membacakan putusan pada persidangan Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu, 27 Agustus 2025. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang menuntut 6 tahun penjara serta denda Rp500 juta.
Sementara suami Mbak Ita, Alwin Basri, memperoleh hukuman lebih berat. Majelis hakim menjatuhkan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta, dengan ancaman kurungan 4 bulan bila denda tak terbayar. Hakim menilai keduanya terbukti menerima gratifikasi dan melakukan korupsi secara bersama. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi