“Kalau dilihat-lihat, orang-orang Tionghoa di Indonesia, terutama di Jawa agak berbeda dari di Malaysia atau tempat lain. Karena di sini bisa menyerap akulturasi setempat,” katanya.
Singkat cerita, kata Jongkie, perayaan Cap Go Meh aslinya menyajikan olahan ketan dengan kuah daging babi. Namun karena kondisi sosial di Indonesia di mana banyak tetangga yang beragama Islam, orang Tionghoa di Indonesia kemudian mengubah sajian yang bisa dinikmati oleh muslim.
BACA JUGA: Mengenang Sosok Gus Dur dan Lontong Cap Go Meh Khas Blora di Klenteng Hok Tik Bio
Salah satunya dengan lontong opor.
“Karena kita kasih hantaran ke tetangga, dan banyak yang islam, sehingga lontong di Cap Go Meh itu jadi halal, memang sengaja agar bisa dikirimkan ke tetangga,” ucapnya.
Ia bahkan mencontohkan, lontong saat perayaan Cap Go Meh tak ada bedanya dengan lontong yang ada di Lebaran Idul Fitri.
“Lontong Cap Go Meh sebenernya unsur Chinanya nggak ada, malah Jawa. Itu jadi bukti akulturasi menyatu makanan setempat,” tandasnya. (*)
Editor: Farah Nazila