Siti sendiri bersama Batik Figa dan pembatik di Kampung Batik konsisten mempertahankan batik canting atau homemade. Di sisi lain, batik cap atau printing telah menjadi musuh batik canting sejak lama.
Sementara tekstil impor dari China, lanjut Siti, menjadi ancaman baru yang berbahaya. Sebab ia khawatir, pabrik tekstil bisa menjiplak motif batik tersebut.
“Mereka dari potongan atau motifnya bakalan lebih rapi karena pakai mesin, kalau nyanting pasti ada tumpah-tumpahannya. Kemudian dari sisi harga juga lebih terjangkau, batik canting lebih mahal,” kata Siti.
BACA JUGA: Peringati Hari Batik Nasional ke-15, Sejumlah Perajin Batik di Blora Membatik Sepanjang 15 Meter
Kendati demikian, Siti bersyukur sekolah-sekolah di Semarang mulai menerapkan kurikulum membatik dalam pelajaran sehari-hari: Selain itu, sebagian kecil sekolah juga sudah menerapkan batik jenis ini sebagai seragam.
Hanya saja, seragam batik di sekolahan masih menggunakan batik printing. Kedepannya, ia berharap masyarakat Semarang lebih mengenal dan mencintai batik Semarangan sebagai identitas dan budaya bersama.
“Semoga lebih sadar dengan batik Semarangan dan jangan terpaku membeli printing, memang dari harga lebih murah, tapi dari segi kualitas jelas berbeda,” tandasnya. (*)
Editor: Farah Nazilabatik