“Beli karena suka sama seri mobilnya, dan kedua karena udah langka dan tidak produksi lagi. Diecast kan bisa sebagai investasi, jadi semakin lama, nanti harganya semakin naik,” ungkap Wisnu.
Mengoleksi diecast memang bisa disebut sebagai investasi. Seiring berjalannya waktu, kata Wisnu, diecast mampu menembus harga hingga puluhan juta. Wisnu sendiri pernah melihat langsung diecast langka yang dibandrol Rp 54 juta.
“Itu nggak dijual di Indonesia awalnya, bentuknya juga nggak kaya mobil sekarang, kemasannya beda, benar-benar jadul dan langka, sekarang udah nggak ada lagi, makanya bikin mahal,” ujarnya.
Peminat mobil diecast Semakin Banyak, dari Berbagai Kalangan
Sebagai Ketua komunitas Banters, Wisnu tak menampik bahwa peminat diecast di Kota Semarang semakin banyak. Anggota komunitasnya saja mencapai 50 orang dari berbagai kalangan.
“Sekarang pasar diecast makin ramai, dari anak-anak sampai orang tua ada. Selain itu, nggak cuma cowok tapi cewek juga ada. Karena hobi diecast kan memang non-gender alias semua kalangan bisa,” ujarnya.
Meski peminatnya cukup tinggi, siapa sangka pemasaran mobil diecast di Indonesia cukup terbatas. Wisnu mengungkapkan, beberapa diecast tidak dijual di Indonesia. Entah terkait regulasi atau kebijakan perusahaan, namun Wisnu berharap pemasaran diecast dapat lebih merata.
“Harapannya semua merk diecast secara umum bisa masuk ke Indonesia, karena ketika beberapa diecast tidak dijual di Indonesia, kami hanya bisa beli secara online dan itu harganya lebih tinggi, semoga pemasarannya bisa merata,” pungkasnya (*).
Editor: Andi Naga Wulan.