Kendati begitu, jika mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Jawa Tengah, Wahyu menilai kenaikan UMP di angka 6,5 persen merupakan hal yang wajar di Jawa Tengah.
“Tapi kalau dari hitung-hitungan ekonomi, dengan melihat pertumbuhan inflasi tahun kemarin, saya lihat wajar-wajar saja kalau naiknya segitu,” jelas dia.
Soroti buruh yang bandingkan kenaikan UMP di Jateng dengan Jakarta, Jabar, dan Jatim, Wahyu tegaskan living cost berbeda jauh
Kenaikan UMP 6,5 persen ini menuai aksi protes serikat buruh. Beberapa tenaga kerja yang tergabung dalam serikat buruh di Jawa Tengah menilai kenaikan 6,5 persen itu tak adil.
Alasannya, dari UMP sebelumnya yakni Rp2.036.947, Jawa Tengah hanya naik Rp132.401,555 menjadi Rp2.169.348,56 pada tahun 2025.
Serikat buruh menilai hal itu tak sebanding dengan kenaikan UMP di provinsi lainnya seperti Jawa Timur, Jawa Barat, hingga DKI Jakarta.
Menanggapi hal itu, Wahyu menyinggung living cost Jawa Tengah yang berbeda jauh dengan tetangganya di Pulau Jawa.
“Kan basis perhitungannya living cost atau hidup layak. Bandingkan Jateng dengan Jakarta, Jabar, dan Jatim. Mereka kan living cost-nya lebih mahal, otomatis mereka punya standar UMP lebih tinggi ketimbang Jateng, itu jadi fakta yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Wahyu.
BACA JUGA: Video Penetapan UMP Jawa Tengah Paling Lambat 11 Desember 2024
Menurutnya, dalam beberapa tahun ke depan, biaya hidup layak atau living cost di Jawa Tengah akan tetap sama. Namun, kata Wahyu, hal itu akan berubah jika ada progres perekonomian yang luar biasa di Jawa Tengah.
“Mungkin sekian tahun terakhir ke depan akan masih sama, kecuali Jateng itu ada progres perekonomian yang luar biasa kemajuannya. Sehingga standar living cost bergeser jadi kayak di Surabaya, Jakarta, atau Jabar,” sambungnya.
Bahkan, Wahyu pun menyebut tuntutan serikat buruh untuk meminta kenaikan 10 persen itu tidak adil.
“Kalau buruh membandingkan nominalnya seperti itu ya menjadi tidak fair. Living cost-nya beda kok,” pungkas Wahyu. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi