“Kenapa Jawa Tengah paling murah? Karena karakter ekonominya memang berbeda daripada Jawa Barat, DKI, dan Jawa Timur,” jelasnya.
Menurut Wahyu, disparitas UMK antarkabupaten/kota tidak dapat dihapuskan lantaran setiap daerah memiliki karakter ekonomi dan kebutuhan dasar yang tidak sama.
“Itu yang membawa konsekuensi perbedaan antarwilayah,” imbuhnya.
Jawab tuntutan buruh agar samakan upah, Wahyu: Tak mungkin dan tak rasional
Menanggapi dorongan buruh agar upah di Jawa Tengah naik mendekati provinsi besar lain, Wahyu menyebut gagasan tersebut tidak sesuai prinsip ekonomi dasar. Dalam hematnya, memaksa penyamaan upah justru dapat menghilangkan daya saing daerah.
“Kalau menyamaratakan enggak bisa kalau karakteristik perekonomiannya berbeda. Kalau menghendaki sama dengan Jakarta atau Jawa Barat, jelas enggak mungkin. Nanti Jawa Tengah malah tidak kompetitif,” tegasnya.
Ia menilai daya saing biaya menjadi salah satu faktor menarik bagi bakal investor Jawa Tengah. Upah yang tidak realistis, kata dia, justru dapat menekan pelaku usaha dan mengganggu stabilitas ekonomi daerah.
“Justru dengan ada sedikit perbedaan itu malah diuntungkan sebenarnya Jawa Tengah,” ujarnya.
BACA JUGA: Ahmad Luthfi soal UMP Jateng 2026 Tak Kunjung Penetapan: Nanti, Tunggu Pusat
Lebih jauh, Wahyu menegaskan bahwa UMP dan UMK hanyalah patokan dasar. Penentuan upah riil tetap memerlukan proses perundingan tripartit antara pemerintah, perusahaan, dan serikat pekerja.
“UMP dan UMK itu hanya patokan saja. Upah realnya nanti bicarakan dalam mekanisme tripartit, yaitu pemerintah, perusahaan, dan buruh,” kata Wahyu.
Ia berharap pemerintah segera mengumumkan regulasi resmi penetapan upah tahun 2026 agar tidak memperpanjang ketidakpastian pasar.
“Harapannya secepatnya, untuk memberi kepastian kepada market. Itu penting. Kalau sudah keluar, itu juga baik untuk kredibilitas pemerintah,” pungkasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi













