SEMARANG, beritajateng.tv – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah, Muhammad Aulia Assyahiddin, berbagi pandangannya mengenai isu sensornya film di Indonesia. Salah satunya terkait dengan tayangan populer seperti Layangan Putus, yang menghadirkan aktor Reza Rahardian, Anya Geraldine, dan Putri Marino.
Aulia menjelaskan bahwa tugas KPID adalah menciptakan iklim penyiaran yang adil bagi seluruh audiens.
Namun, dalam konteks film dan serial, keadilan tersebut tidak hanya soal tayangan yang bebas sensor, tetapi juga mempertimbangkan norma yang berlaku di masyarakat. Terutama dalam hal program televisi yang dapat semua kalangan akses.
Layangan Putus, yang populer di kalangan penonton televisi Indonesia, terutama mereka yang berusia 40 tahun ke atas, menjadi contoh yang menarik untuk dibahas.
TONTON JUGA: PODCAST FILM LAYANGAN PUTUS TAYANG DI TV ADEGAN SELINGKUH KENA SENSOR – AULIA ASSYAHIDDIN
Aulia menekankan, meskipun serial tersebut telah melalui proses sensor, beberapa bagian cerita yang sensitif tetap terpotong. Seperti adegan pertengkaran dan kisah perselingkuhan.
Hal ini tentunya memengaruhi penyampaian cerita dan daya tarik emosional yang ingin produksi tersebut capai.
“Yang populer, contohnya Layangan Putus itu kan populer sekali. Tapi penonton televisi itu kan, sebagian besar berusia 40 tahun ke atas yang masih terikat dengan norma-norma tertentu,” ungkap Aulia dalam podcast Ruang Interaksi bersama Pemimpin Redaksi Beritajateng.tv, Ricky Fitriyanto, Selasa 22 Mei 2025.
“Meski sudah dipotong, tetap ada adegan yang dihilangkan. Seperti pertengkaran atau masalah perselingkuhan, yang sebenarnya penting untuk membangun plot cerita,” ujarnya.
Aulia juga menyoroti pentingnya perbedaan antara platform penyiaran tradisional seperti televisi dan platform digital seperti YouTube.
Menurutnya, meskipun film atau serial seperti Layangan Putus populer di media sosial dan platform streaming, proses penyensoran untuk tayangan televisi membutuhkan revisi mendalam, termasuk perubahan dalam alur cerita.
“Kalau dipindahkan langsung dari platform digital ke televisi, banyak elemen yang hilang. Karena audiens televisi memiliki ekspektasi yang berbeda. Cerita yang sebelumnya bisa berjalan dengan baik di YouTube, bisa jadi tidak cocok jika di potong dan di ubah untuk tayang di TV,” jelasnya.
Selain itu, Aulia juga menyoroti fenomena masyarakat Indonesia yang cenderung lebih tertarik dengan kisah yang mengandung beberapa unsur. Yakni kriminalitas, drama, atau bahkan elemen yang lebih sensasional seperti pornografi. Ia mencatat, hal ini berpengaruh pada keberhasilan film atau serial dalam meraih perhatian penonton.
“Penonton Indonesia lebih suka dengan kisah yang kriminal, dramatis, atau bahkan lucu. Itu adalah formula yang sering di olah oleh pembuat konten di media sosial dan bioskop,” kata Aulia.
Meski demikian, Aulia tetap menekankan bahwa KPID berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dalam dunia penyiaran.