“Saya pernah mencoba di lapak, nggak laku,” ucapnya.
Selain lokasi foodcourt yang jauh, menurut pedagang, harga sewa di nilai terlalu memberatkan. Sebelum di bangun foodcourt, pedagang hanya membayar retribusi sebesar Rp 5.000 per hari. Sedangkan, sewa lapak yang pernah ia tinggali Rp 300 ribu per bulan.
“Setelah itu, direksi baru, yang di depan Sandang dibongkar. Foodcourt yang baru itu (sewa) Rp 1,1 juta. Lapak lama yang pernah saya tempati itu sekarang Rp 700 ribu,” sebutnya.
Desak Pemkot Beri Solusi
Pendamping PKL KIW, Zainal Petir menambahkan, PKL yang berjualan di KIW tidak membuka lapak, hanya membawa sepeda motor. Namun, sayangnya tanpa kejelasan dari manajemen kawasan tidak lagi boleh berjualan.
“Mestinya managemen KIW senang karena para pedagang mendekatkan pada karyawan di masing-masing perusahaan sehingga tidak terganggu waktu kerjanya. Jangan malah diusir,” tandasnya.
Semestinya, kata dia, kawasan milik BUMN ini seharusnya mendukung rakyat kecil agar lebih sejahtera. Pihaknya juga mengritisi soal pembangunan foodcourt yang jauh dari lokasi pabrik.
“KIW membuat foodcourt tapi jauh dari pabrik jelas tidak laku karena tidak mungkin karyawan mau ke foodcourt. BUMN orientasinya jangan bisnis melulu harus ada tanggung jawab sosial masyarakat,” tegasnya.
Dia meminta Pemerintah Kota Semarang segera turun mengatasi persoalan ini. (*)
Editor: Elly Amaliyah
Respon (3)