“Kita menggunakan Math City Map, aplikasi yang pengembangnya ada di Jerman. Di aplikasi itu sudah ditentukan spot-spotnya. Satu trial ada 5 soal. Kebanyakan kita mengambil kategori bilangan geometri, lalu statistik, dan aljabar,” jelasnya.
Belajar matematika di kehidupan sehari-hari lewat lomba Math City Map di TBRS Semarang
Edi mencontohkan, para siswa harus mengukur volume pilar yang tertutup batu alam. Bagi siswa yang belum paham konsep matematika tentu akan mengukur menggunakan meteran. Padahal, kata Edi, siswa dapat menggunakan bantuan dari batu alam itu sendiri.
“Ini tidak ada hubungannya dengan olimpiade. Kita hanya mengasah mereka dari aspek numerasi. Ternyata antarteori di bangku sekolah dan di lapangan itu berbeda,” sebutnya.
Selain mengasah ilmu matematika dengan cara yang menyenangkan, lomba ini juga melatih kerjasama siswa.
BACA JUGA: Ilmu Enuh Nugraha ODGJ Alumni ITB Ternyata Tak Luntur, Masih Jago Matematika!
Seperti halnya salah satu kelompok dari SDN Kalibanteng Kidul 01 yaitu Alexandre, Firzana, dan Azza. Ketiganya mengaku sedikit kesusahan dalam menghitung volume pot bunga.
“Susah, sudah dihitung dari tadi udah dicoba walaupun pakai angka yang berbeda tapi tetep saja salah. Meski pakai alat bantu dan peralatan tetep aja susah,” ucap mereka.
Selain menghitung volume pot bunga, mereka juga telah menghitung lantai rumah joglo dan diameter lingkaran.
Meski merasa pesimis mampu menyelesaikan kelima trial, namun Alexandre, Firzana, dan Azza mengaku senang dapat mengikuti lomba matematika hari ini. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi