“Di dalamnya sudah ada pengaturan mengenai pesantren disabilitas. Pemerintah bisa bekerja sama dengan dinas sosial, dinas tenaga kerja, serta lembaga lain untuk memberikan fasilitas pelatihan dan pengembangan bakat santri difabel,” kata Sodri.
Salah satu pengasuh yang hadir, Umar Said dari Pondok Pesantren Inklusi Nurul Maksum, menyampaikan rasa syukur karena kebutuhan pesantren disabilitas mulai mendapat perhatian.
Ia mengatakan, pesantrennya merawat puluhan santri berkebutuhan khusus, mulai dari tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, hingga tuna daksa. Mereka membutuhkan fasilitas yang lebih lengkap dan pendamping yang terlatih.
“Kami berharap perda ini benar-benar terealisasi. Anak-anak kami butuh sarana yang layak, kebutuhan sosial dan harian, serta guru yang mampu mengajar santri difabel. Banyak ustaz belum siap mengajar anak-anak yang bisu atau tuna rungu,” ujar Umar.
Ia menambahkan, sebagian besar santri difabel merupakan anak-anak yang ditinggalkan keluarganya sejak kecil. Pesantren menjadi tempat mereka belajar dan menjalani kehidupan keagamaan dengan penuh keterbatasan.
“Pesantren harus hadir untuk semua. Mengamalkan Islam rahmatan lil alamin bukan hanya untuk anak-anak yang normal dan pintar, tetapi juga untuk mereka yang tidak diinginkan keluarganya,” tuturnya.
Raperda Fasilitasi Pengembangan Pesantren ditargetkan rampung pada akhir Desember 2025 setelah melalui tahap fasilitasi provinsi.
DPRD berharap aturan ini menjadi payung hukum yang mampu memperkuat peran pesantren sebagai pusat pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat di Kota Semarang. (*)
Editor: Elly Amaliyah













