Menurutnya, dengan pelari membeli hasil atau biasanya mereka sebut dengan tebus foto, adalah cara menghargai jerih payah fotografer.
“Orang beli bersyukur, nggak, nggak apa-apa. Kita nggak memaksa untuk mereka membayar foto yang kami jepret,” tekannya.
Uniknya, banyak pelari yang tak mau mengeluarkan uang untuk membayar hasil foto jepretan fotografer. Mereka ‘nyolong’ dengan melakukan jepretan layar walaupun sudah diberi watermark.
Bahkan, sering ada pelari yang meminta tolong Achbar untuk memfoto menggunakan handphone pribadinya. Ia pun menolak secara halus.
“Kami di sini cari rejeki. Saya sendiri udah nggak ambil job lain. Cuma mengandalkan fotografi sport, masa tega minta gratisan,” katanya.
Persaingan ketat
Kini, dengan semakin berkembangnya media sosial, Achbar mengakui jika semakin banyak pula fotografer yang mencoba peruntungan di fotografi olahraga. Apalagi dengan iming-iming cuan.
Ada yang hanya sampingan, ada pula yang bekerja penuh waktu sebagai fotografer. Yang membahayakan, kata Achbar, ketika banyak fotografer non-olahraga yang iseng mencoba fotografi olahraga.
“Mereka hanya iseng dan ngasih harga di bawah kesepakatan, akhirnya ngerusak harga. Kita yang fotografer sport asli, jadinya hancur,” paparnya.
BACA JUGA: Auto Jadi Langganan! Berikut Daftar Tempat Studio Foto di Semarang dengan Fotografer yang Berpengalaman
Meski begitu, Achbar berharap tren fotografi olahraga ini mampu berumur panjang. Adanya tren olahraga ditambah maraknya media sosial menjadikan dirinya pede jika bisnis ini menjadi peluang yang masih menjanjikan beberapa tahun kedepan.
“Bakalan ada selama memang masih ada orang suka difoto, dan masih ada orang yang mau nebus foto,” tandasnya. (*)
Editor: Farah Nazila