Lontong ada sejak zaman Majapahit, sementara opor baru ada di zaman Mataram. Seiring perkembangan zaman, muncullah akulturasi budaya sehingga tercipta lontong opor.
“Apalagi di Kota Semarang, ada akulturasi budaya antara Jawa, Arab, dan Tionghoa. Ketambahan abing, kedelai, kayu manis, kapulaga, lodeh, rebung, dan ampela hati ayam, akhirnya ada Lontong Cap Go Meh yang menggambarkan akulturasi budaya Nusantara,” paparnya.
BACA JUGA: Rayakan Cap Go Meh 2024, Sekolah Karangturi Hadirkan 1.000 Naga hingga Warak Ngendog
Aman pun berharap, lontong opor dalam perayaan tersebut mampu nenjadi simbol kebersamaan kebudayaan Nusantara. Begitu pula jadi harapan kebersamaan dan toleransi di Sekolah Kuncup Melati yang semakin erat.
Sementara itu, salah satu siswa Kelas XI, Christina Agnes Victoria, mengaku telah tiga tahun ikut merayakan Cap Go Meh sejak masuk bangku SMP di Sekolah Kuncup Melati. Ia mengaku senang bisa merayakan Cap Go Meh bersama teman-teman.
“Senang, karena bareng teman-teman, lontongnya enak,” ucap Christina. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi