BACA JUGA: Petani Jateng Kritik Aparat Terlibat Food Estate: Jangan Sampai Trauma Orde Baru Terulang Lagi
“Ya mau jadi petani gimana? Orang kita melihat kondisi pertanian kita dulu loh. Teknologi pertaniannya enggak dibikin, mekanisme pertanian enggak dibikin, pascapanennya juga enggak ada fasilitas ke sana,” ujar Purwanto.
Purwanto menilai, proses kaderisasi pertanian seharusnya bisa membuka ruang bagi anak muda untuk berkreasi dengan teknologi modern. Namun, yang terjadi saat ini justru petani tua dibiarkan bekerja tanpa dukungan memadai.
“Kalau itu serahkan ke petani yang sudah tua, yang sudah lelah berproduksi, enggak bisa. Makanya sebetulnya banyak PR yang harus regenerasi ke anak-anak muda itu. Saya kira itu sih, jadi harus ada stimulasi atau media untuk mereka berkreasi,” tegasnya.
Dorong industrialisasi berpijak pada reformasi agraria
Lebih lanjut, Purwanto juga menekankan pentingnya industrialisasi yang berpijak pada reformasi agraria. Menurutnya, industrialisasi seharusnya berangkat dari pemanfaatan hasil produksi pertanian, bukan sekadar menarik investor dan menyediakan tenaga kerja murah.
“Kalau tanah ini sudah diselesaikan, kemudian industrialisasi itu adalah bagaimana produksi-produksi pertanian ini bisa dikemas dan tidak lupa sumber daya agraria juga dimanfaatkan dengan industrialisasi yang berpijak pada reformasi agraria,” jelasnya.
Ia menyebut, tanpa kebijakan yang berpihak pada petani, terutama anak muda, banyak masyarakat desa akhirnya beralih ke sektor informal atau menjadi buruh migran dengan penghasilan yang tak menentu.
“Makanya enggak ada kemudian orang-orang jadi pengamen, jadi buruh migran, jadi sektor yang informal-informal gitu loh. Upah mereka juga tidak terjamin, sangat tidak terjamin,” pungkas Purwanto. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi