“Waktu itu tepung terigu masih impor dari luar negeri, ada isu beracun dan berbahaya karena terkontiminasi bahan kimia. Walau bukan di Semarang, karena berita itu ramai di televisi dan surat kabar, orang Semarang jadi takut beli sesuatu yang pakai terigu, luar biasa sekali itu dampaknya,” lanjutnya.
Bolang-Baling Peterongan bangkit berkat media sosial
Namun, berkat kegigihan dan ketekunan, usaha Bolang-Baling Peterongan miliknya kembali berangsur membaik. Seiring berjalannya waktu, kehadiran media sosial dan liputan media massa membantu usaha Widyo untuk tetap bertahan.
Tak sedikit influencer maupun YouTuber yang mengulas Bolang-Baling Peterongan miliknya. Akibatnya, setiap sore kini jualan Widyo selalu menjadi serbuan pembeli.
“Media sosial dan liputan dari media massa memberikan dukungan yang besar bagi usaha kami. Meskipun belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemi, setidaknya kini bisnis kami mulai bangkit kembali,” aku Widyo.
BACA JUGA: Bak Hidden Gem, Kuliner Jepang di Sempitnya Jalan Lamper Tengah Semarang Ini Ramai Pengunjung
Selain menyajikan bolang-baling, Widyo juga menawarkan dua jajanan legendaris lainnya, yakni cakwe dan untir-untir. Semuanya terbanderol dengan harga terjangkau, mulai dari Rp3,5 ribu hingga Rp5 ribu.
Bolang-Baling Peterongan milik Widyo mangkal setiap hari di pinggir jalan MT. Haryono, tepatnya di depan Rumah Makan Nglaras Rasa Peterongan. Gerobaknya mulai buka lapak dari pukul 14.00 hingga 23.00 WIB. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi
Respon (1)