Scroll Untuk Baca Artikel
Feature

Sempat Tak Direstui Orang Tua, Begini Kisah Sila Guna Jadi ‘Biarawati Buddhis’ di Usia Belia

×

Sempat Tak Direstui Orang Tua, Begini Kisah Sila Guna Jadi ‘Biarawati Buddhis’ di Usia Belia

Sebarkan artikel ini
atthasilani
Atthasilani yang satu ini telah memantapkan hatinya sebagai biarawati Buddhis sejak usia 18 tahun. Beginilah sepak terjang kisahnya! (Made Dinda Yadnya Swari/beriajateng.tv)

“Saya mengundang para Bhikku datang ke rumah agar orang tua saya juga mendapat kesempatan berbuat baik kepada Bhante, Bhante pun juga menasehati orang tua saya,” tuturnya.

“Sehingga orang tua saya menyadari kalau oh pola kehidupan yang dijalankan anak saya ini bukan kehidupan yang salah, tapi pola kehidupan yang justru melindungi dia,” terangnya.

Besar dari keluarga yang terbuka dengan perbedaan

Meski awalnya sempat kesulitan untuk meyakinkan hati sang Ibu, namun siapa sangka Sila Guna berasal dari keluarga dengan berbagai latar belakang agama? Dukungan keluarga, khususnya dalam kebebasan memilih agama, jadi salah satu faktor pendorong ia bisa menjadi Atthasilani hingga saat ini.

“Saya empat bersaudara jadi anak yang paling kecil. Kakak saya yang pertama ke Gereja, yang kedua dan ketiga itu Muslim. Tapi dari orang tua tidak pernah masalah soal itu. Ibaratnya kalau seperti pekerjaan, mereka sudah selesai lah menjelankan tugasnya sebagai Buddhis,” terangnya.

“Jadi karena keluarga saya yang membebaskan pilihan kepada anak-anaknya, itu jadi salah satu alasan kenapa akhirnya didukung juga menjalani kehidupan sebagai Biarawati Buddhis ini,” imbuhnya.

Memotong rambut layaknya seorang Bhikku menjadi keharusan bagi perempuan yang memilih jalan hidup Atthasilani. Tak hanya itu, mereka juga tidak boleh menggunakan riasan dan wewangian dengan tujuan mempercantik diri.

Namun, hal ini bukanlah masalah bagi Sila Guna. Ia juga bercerita makna mendalam kenapa Bhikku dan Atthasila memotong rambutnya.

“Sederhananya cukur rambut itu supaya kita ini lebih hidup sederhana, tidak hanya fokus merawat rambut saja ya. Kan melepas rambut itu tidak mudah bagi setiap perempuan, karena rambut itu dianggap mahkota yang membuatnya cantik,” ungkapnya.

Baginya, rambut dan kulit menjadi suatu objek perenungan bahwa hidup ini tidaklah kekal.

“Ada lima perenungan yang kita harus lihat sebagai objek perenungan, salah satunya rambut dan kulit yang kita lihat itu tidak menarik dan juga kekal. Misalnya kulit, kulit kan hanya sebagai lapisan tipis yang menutupi organ tubuh yang tak indah ini,” ujarnya.

Di akhir wawancara, Sila Guna selalu berpesan agar kehidupan sebagai seorang manusia janganlah kita isi dengan hal-hal buruk. Hal itu tak terlepas dari hukum sebab-akibat yang menjadi salah satu kepercayaan dalam Buddhisme.

“Menjadi manusia itu jangan berbuat buruk lah. Selalu berbuat kebaikan untuk sesama, sebab apa yang kita tanam itu yang nanti akan kita tuai,” pungkas Atthasilani Gunanandini. (*)

Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan