“Yang gas rawa di Banjarnegara itu 100 KK bisa kena walaupun awalannya kita pancing 25 KK. Kita target segitu, tapi mereka mulai mengembangkan dirinya, entah itu iuran swadaya atau juga melalui APBDes,” tutur Boedya.
BACA JUGA: Wujudkan Energi Bersih Terbarukan, Sejauh Mana Peran Indonesia dalam Lingkup ASEAN?
Tolak PLN Lantaran Punya Sumber Listrik Sendiri
Tak hanya itu, Dusun Kalipondok, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dengan memanfaatkan aliran air dari Telaga Pucung. Masyarakat di sana tidak bergantung pada aliran listrik dari PLN.
“Saat ini ada desa yang gak mau listrik PLN karena sudah nyaman menggunakan itu (PLTMH). Dia dikelola masyarakatnya, kelembagaannya juga dibuat. PLN mau masuk sementara mereka gak mau (menolak),” tuturnya.
Menurut Boedya, penggunaan energi terbarukan (EBT) di desa mandiri energi sangat penting sebagai transisi dari energi fosil. Musababnya, bahan bakar fosil yang selama ini masyarakat gunakan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan seperti perubahan iklim.
“Jadi energi fosil kan memberikan dampak gas rumah kaca, sehingga mempengaruhi suhu di litosfer dan memengaruhi iklim. Maka muncul la nina, el nino, itu akibat perubahan iklim. Ada banyak fenomena yang kita rasakan karena bagian dari dampak efek gas rumah jaca dari sumber energi berbasis fosil,” terangnya
Transisi energi fosil menuju energi terbarukan merupakan salah satu kesepakatan global dalam G-20. Kedinasan ESDM Jateng pun terus mendorong masyarakat untuk mulai beralih menggunakan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi