“Gibran kan Walikota di acara itu, diundang ya biasa saja. Kalau Gibran menjadi anggota PSI itu masalah. Kenapa Pak Pacul? Karena anggota itu gak boleh dobel sesuai dengan perundangan. Jadi Pak Bambang Pacul bisa jadi anggota Gerindra? Gak bisa, harus pilih satu. Budiman jadi Gerindra atau PDI? Gak bisa, harus pilih salah satu. Dua-duanya dilarang UU. Artinya kalau kau melawan UU, kau melawan negara,” bebernya.
Publik pun menilai mantan aktivis 98 itu menggeser arah dukungannya karena tak mendapat jatah jabatan menteri oleh Megawati. Mengenai hal ini, Bambang Pacul mengaku tidak mengetahui persoalan itu.
BACA JUGA: Sosoknya Berpotensi Maju Pilgub Jateng 2024 Gantikan Ganjar, Begini Tanggapan Bambang Pacul
“Jatah? Wah, itu bagian keputusan politik kalau jatah-menjatah. Ada apa enggak aku juga enggak tahu. Bambang Pacul ketua pemenangan Jateng waktu itu. 2019, Bu Ketum perintahkan menjaga Jateng, Pak Jokowi juga sama untuk memenangkan Jateng. Waktu itu perintahnya menang. Kita menangin. Kita kerja bareng-bareng. Saya ingatkan waktu 2019 Pak Jokowi di sini surplus suaranya 11,88 juta. Dan itu mohon izin, kami bukan sok sombong, tapi untuk meng-cover kekalahan Pak Jokowi di Jabar, Banten, Sulawesi, Sumatera, Bengkulu, masih surplus,” tegasnya.
Erat menggenggam laku sebagai kestaria Jawa, Bambang Pacul teguh melaksanakan perintah Ketum tanpa iming-iming pemberian jatah kursi jabatan sebagai imbalan.
“Kemudian kau tanya padaku, ‘Dapat jatah kau, Pacul?’ Jatah apa, wong kita pelaksana tugas kok jatah. Kami tidak berpikir seperti itu. Ibu Ketum kami tidak pernah, ‘Eh, Pacul, kamu kerjakan itu nanti kau kukasih hadiah ini’. Enggak ada. Dan kami juga gak pernah mengharapkan,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi