Hal serupa juga tersampaikan oleh salah satu orang tua siswa SD Istiqomah, Ranindipasita. Dirinya mengaku setuju dengan adanya sistem pembelajaran di bulan Ramadan yang tidak sepenuhnya libur.
“Anak-anak tetap ada kegiatan di sekolah, bisa menambah ilmu agama. Daripada full libur dan di rumah tidak ada kegiatan pembelajaran, bisa bosen. Selain itu juga meminimalisasi anak-anak main gadget terus,” ucap dia.
Penanaman karakter bagi siswa
Sementara itu, kebijakan libur Ramadan juga mendapat respons positif dari sekolah. Kepala TKN Pembina Semarang Sri Mulyani, misalnya; ia sangat setuju dan mengapresiasi kebijakan ini.
Menurutnya, peraturan pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk saling menghargai perbedaan agama sejak dini. Selain itu, siswa yang beragama muslim tetap bisa belajar berpuasa di sekolah. Bahkan, ia menilai adanya peraturan itu bisa menanamkan karakter baik pada anak.
“Jadi untuk kegiatan Ramadan itu bisa sekaligus untuk penanaman karakter, menjadi pembiasaan yang setiap hari kami lakukan di sekolahan,” katanya.
Lebih jelas, Mulyani mengungkap jika belum ada peraturan resmi yang mengatur terkait pembagian jadwal. Kendati demikian, ia telah memiliki rencana jadwal sebagaimana biasanya.
Bagi yang siswa yang beragama Islam, jelas Mulyani, akan ada kegiatan keagamaan dengan porsi sebesar 50 hingga 75 persen. Sementara untuk siswa beragama selain Islam, juga akan menyesuaikan kegiatan berbasis keagamaan.
“Mungkin ada pengaturan jam. Saya kan tidak bisa menentukan jam sendiri, tentunya pemerintah [yang menentukan] porsinya untuk anak PAUD jam segini sampe jam segini, SD jam segini sampe segini,” harapnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi