Untuk menghadapinya, seseorang harus mengontrol dirinya sendiri. Menurutnya, akan sulit berekspektasi terhadap orang lain. Maka dari itu, mengendalikan perasaan-perasaan yang muncul seperti sakit hati, sebal, dan benci nerupakan kunci utama.
“Okay ketika seperti itu, cari tau apa yang saya rasakan, kalau memang emosi negatif, pikiran itu apakah ada manfaatnya buat saya, kalau itu membuat saya semakin ngedown, berarti saya tidak izinkan pikiran itu mendominasi pikiran saya sehari-hari,” sarannya.
Kemudian, ia mengajak masyarakat agar tidak over-diagnose dan tidak mudah memberikan label kepada diri sendiri maupun orang lain. Sebab, mendiagnosa suatu kondisi psikologis merupakan tupoksi professional. Seperti psikiater atau psikolog yang memiliki surat izin praktik yang masih berlaku. Selain itu, telah berpraktik sesuai dengan kode etik.
“Karena setiap gangguan itu pasti ada gejalanya, ada durasinya, dan ada kriterianya. Jadi tidak semudah itu menjadi disorder. Kalau itu, paling tidak enam bulan lebih secara konsisten merasakan hal yang sama, kalau hanya merasakan pas kumpul-kumpul lebaran saja saya rasa belum cukup disebut social anxiety disorder,” tutup Dipta (*).
Editor: Andi Naga Wulan.