Namun, ia mengingatkan transisi kebijakan ini harus berjalan secara hati-hati agar tidak menimbulkan gejolak sosial.
“Distribusi energi harus tetap stabil, terutama bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Jangan sampai perubahan ini malah menyulitkan masyarakat kecil,” jelasnya.
Senada dengan itu, pakar energi Undip, Jaka Windarta, menyebut perubahan skema subsidi menjadi voucer atau BLT merupakan langkah logis dalam memperkuat kebijakan fiskal.
Ia menilai beban subsidi LPG yang mencapai Rp80 triliun per tahun tidak sebanding dengan manfaat yang diterima kelompok miskin.
“Subsidi memang membantu masyarakat, tapi juga menjadi beban besar bagi negara. Jadi wajar jika pemerintah mulai mencari mekanisme yang lebih efisien dan adil,” ujarnya.
Menurut Jaka, sistem voucer dapat memastikan bantuan digunakan sesuai sasaran. Dengan digitalisasi data penerima melalui sistem by name by address dan penggunaan QR code, kebocoran bisa di tekan signifikan.
“Sekarang sudah ada sistem pendaftaran digital. Masyarakat yang terdaftar bisa membeli LPG subsidi, sedangkan yang tidak terdaftar tidak bisa. Ini bentuk transparansi agar subsidi benar-benar tepat sasaran,” tambahnya.
Sedikit informasi, pemerintah mengalokasikan subsidi LPG 3 kg sebesar Rp87,6 triliun pada tahun 2025, meningkat dari Rp85,6 triliun pada 2024. Total volume LPG bersubsidi mencapai 8,17 juta ton. Tanpa subsidi, harga asli LPG 3 kg di perkirakan mencapai Rp42.750 per tabung, sedangkan harga jual kepada masyarakat hanya Rp12.750 per tabung. (*)
Editor: Elly Amaliyah









