“Dia mau mengikuti saran dari orang tuanya tapi dengan syarat suaminya tidak menikah lagi. Artinya, dia punya keberanian dan ini salah satu cara mendobrak agar wanita tidak hanya sebagai konco wingking (teman belakang),” imbuhnya.
Benang merah perjuangan Kartini dan Gen Z saat ini
Jika menarik benang merah perjuangan Kartini dengan kondisi saat ini, Yustina berpendapat jika Gen Z bisa memetik hikmahnya tersendiri. Bahwasanya, seorang wanita harus punya cita-cita dan harapan yang harus ia raih di masa depan.
Selain itu, lanjut Yustina, salah satu peninggalan yang bisa Gen Z teruskan dari seorang Kartini adalah kebaya. Menurutnya, kebaya merupakan identias bangsa.
Banyak hal yang tercerminkan dengan berkebaya. Mulai dari keanggunan, rasa percaya diri, simbol kesopanan, hingga warisan leluhur itu sendiri.
“Kebaya identik dengan Kartini, memang saat itu adat keraton selalu mengenakan kebaya, jadi kita ini rasanya kaya putri keraton,” tambahnya.
BACA JUGA: Gandeng beritajateng.tv, Grand Candi Hotel Semarang Lestarikan Budaya Lewat Event Pasar Senggol
Sementara itu, Rena, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang mengaku, sebagai Gen Z, ia masih sering memakai kebaya.
Apalagi saat ini, muncul tren di sosial media yang memunculkan kesan berkebaya sebagai hal yang estetik. Ia pun mulai memakai kebaya di kehidupan sehari-hari.
“Saya mulai berani memakai kebaya di perpustakaan, di taman, di kehidupan sehari-hari. Jadi memang kreativitas Gen Z masih bisa berlanjut sesuai dengan nilai-nilai leluhur,” ungkapnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi