SEMARANG, beritajateng.tv – Sebanyak lima kegiatan tambang di lereng Gunung Slamet mengantungi izin. Namun, berdasarkan keterangan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, hanya tiga dari lima yang beroperasi.
Kegiatan tambang di Desa Gendatapa Kecamatan Sumbang dan Desa Baseh Kecamatan Kedungbanteng disebut telah mendapat izin dari Dinas ESDM Jawa Tengah. Sementara di Bukit Jenar, Desa Baseh, saat ini ditutup sementara karena diketahui tidak melakukan proses penambangan sesuai dengan ketentuan.
Meskipun sudah mengantongi izin, Pakar lingkungan dan tata kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila, menegaskan tambang sifatnya tetap merusak lingkungan. Utamanya terkait pemulihan lingkungan di sekitarnya.
“Sebenarnya tambang di mana-mana itu merusak lingkungan; mau apa pun namanya pasti akan berpengaruh pada kawasan sekitarnya. Kalau sudah mengantungi izin, pasti pemulihannya akan sangat lama, kan?” ujar Mila saat beritajateng.tv hubungi via panggilan WhatsApp, Minggu, 14 Desember 2025.
BACA JUGA: ESDM Jateng Klaim Tambang Gunung Slamet Aman, Pengamat: Warga yang Terimbas, Orang Dinas Tidak
Pemulihan lingkungan pascatambang, menurut Mila, bukan proses singkat. Dampak kerusakan tidak bisa serta-merta dipulihkan meski kegiatan tambang telah dihentikan.
“Pemulihannya itu sangat lama, tidak serta-merta bisa berubah menjadi seperti semula. Proses pemulihan itu panjang,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan sejauh mana analisis dampak lingkungan atau AMDAL benar-benar dijalankan sebelum izin diberikan, termasuk kejelasan status legalitas tambang.
“Belum lagi apakah sudah dilakukan analisis dampak lingkungan dari kegiatan penambangan itu. Ini yang sering kali jadi persoalan, apalagi kalau tambangnya ilegal. Kita tidak tahu ini legal atau ilegal, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana izinnya,” kata Mila.
Tambang di Gunung Slamet berada di wilayah Banyumas, tapi kewenangan perizinan di tingkat Provinsi Jateng
Mila menyoroti kewenangan perizinan tambang yang berada di tingkat provinsi, meskipun lokasi tambang berada di wilayah kabupaten.
“Sekarang masalahnya, walaupun Banyumas yang punya wilayah, izinnya bukan di kabupaten, tapi di ESDM provinsi,” ucapnya.
Menurutnya, kondisi tersebut membuat pengawasan menjadi tidak optimal. Kabupaten tidak memiliki kewenangan untuk melakukan monitoring, sementara kapasitas pengawasan di tingkat provinsi terbatas.
“Kalau menyerahkan pengawasan ke kabupaten, kabupaten tidak punya wewenang karena monitoring oleh ESDM provinsi. Pertanyaannya, berapa banyak SDM yang dimiliki untuk memonitor kegiatan tambang di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah?” ujar Mila.













