BACA JUGA: Viral Siswi SMK Sempat Hilang Saat Tektok, Mendaki Gunung Slamet, Begini Maksud Istilahnya
Menurutnya, penutupan akses jalan menuju sekolah dapat menimbulkan beban psikologis bagi anak, terutama jika mereka merasa terlibat dalam konflik yang seharusnya menjadi urusan orang dewasa.
“Anak ini bisa punya trauma atau tekanan batin karena jadi korban dari masalah orangtuanya. Ini yang tidak kami harapkan,” tegasnya.
Widhiatmoko menjelaskan bahwa kasus sengketa tanah tersebut sudah diputuskan oleh pengadilan, yang menyatakan bahwa lahan tersebut sah milik Sri Rejeki. Berdasarkan putusan per 17 Juli 2025, Juladi Boga Siagian seharusnya segera meninggalkan lokasi tersebut.
“Langkah ke depan, kami sudah bertemu Bu Sri Rejeki, dan insyaallah Kamis nanti pengacaranya akan datang. Kami akan koordinasi dengan RT, lurah, dan kuasa hukum untuk mencari solusi terbaik,” ungkapnya.
Ia juga memastikan bahwa pihaknya tetap memprioritaskan hak pendidikan anak. Pemerintah kecamatan telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Kota Semarang.
“Anak usia sekolah harus tetap sekolah. Kami akan usahakan agar aksesnya bisa dibuka, setidaknya sampai ada solusi jangka panjang,” tuturnya.
Camat Gajahmungkur itu berharap ketiga pihak, yakni Sri Rejeki selaku pemilik tanah, dan keluarga Juladi Siagian, serta warga sekitar dapat duduk bersama agar konflik tidak semakin meluas dan anak-anak tidak menjadi korban.
Sebelumnya, video viral tersebut menunjukkan bahwa jalan utama yang biasa dilalui telah ditutup secara sepihak. Hal itu memaksa Juladi dan keluarganya mencari jalur alternatif yang berbahaya, termasuk melewati bantaran sungai untuk akses berangkat sekolah anaknya.
BACA JUGA: BEM UNDIP Mundur dari BEM SI, Tegaskan Gerakan Mahasiswa Harus Lepas dari Panggung Politik
Menurut keterangan beberapa warga sekitar lokasi, penutupan akses ini merupakan buntut dari kasus persengketaan lahan yang terjadi sejak 2019.
Selain karena pihak Sri Rejeki memenangkan kasus di pengadilan, warga juga menyebut bahwa Juladi kurang bersosialisasi di lingkungan sekitar.
Sementara itu, pihak Juladi berharap ada penyelesaian adil yang tidak hanya mempertimbangkan legalitas administratif, tetapi juga kemanusiaan. (*)
Editor: Farah Nazila