Sejalan dengan pernyataan Ichwan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Semarang, Dedy Mulyadi mengatakan bahwa thrifting selama ini menjadi ancaman serius bagi pelaku usaha di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). Selain merugikan negara karena tidak di kenai pajak, tren thrifting juga merusak pasar dan menekan daya saing pelaku usaha lokal.
“Kalau barang-barang bekas itu dilarang, menurut saya bagus. Banyak pedagang besar yang mengambil keuntungan dari impor ilegal tanpa bayar pajak. Padahal seharusnya kalau produk tekstil masuk jalur merah, pajaknya besar,” jelasnya.
Dedy menilai, selain aspek ekonomi, impor pakaian bekas juga membawa risiko kesehatan dan lingkungan karena banyak produk yang tidak melalui proses sterilisasi.
Kata Pelaku Usaha Thrifting Semarang
Sementara itu, salah satu pelaku usaha thrifting di Semarang, Yohanes (31), pemilik toko Awawscnd, memberikan kritik terkait larangan thrifting ilegal oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Menurut Yohanes, kebijakan pelarangan thrift di nilai tidak relevan jika alasan utamanya adalah melindungi UMKM produk lokal. Ia berpendapat bahwa setiap jenis usaha memiliki pasar dan segmennya sendiri.
“Kurang relevan kalau penghentian thrift dengan dalih melindungi UMKM lokal. Semua usaha punya market sendiri. Dari tahun ke tahun selalu ada berita seperti ini. Kami pelaku thrift seperti dikambinghitamkan atas masalah negara yang tidak bisa membuka lapangan pekerjaan,” ujarnya kepada beritajateng.tv melalui pesan singkat pada Sabtu, 8 November 2025.
BACA JUGA: Ramai Pelarangan Thrift Ilegal, Pengusaha Thrift: Kami Seperti Kambing Hitam Masalah Negara
Yohanes yang menekuni usaha thrifting sejak 2014 ini berharap pemerintah tidak hanya melarang, tetapi juga memberikan solusi konkret agar pelaku usaha tetap bisa bertahan.
“Kalau dipaksa berhenti tanpa solusi, ya jelas merugikan. Saya pribadi mungkin akan kembali ngojek. Daripada jual produk bekas lokal yang kurang pembeli minati,” katanya. (*)
Editor: Farah Nazila













