Arief pun membeberkan sejumlag data yang membikin jengkel. Yakni, beberapa kabupaten di Jawa Timur seperti Jombang, Lamongan, Madiun, dan Ngawi—yang jaraknya bahkan 3–4 kilometer dari sumur produksi—justru mendapat DBH lebih besar dari Blora.
“Mosok Jombang yang perbatasan cuma 3 kilometer dapatnya lebih besar dari Blora? Padahal yang paling kena dampak ya Blora!” ketusnya.
Menurutnya, pembagian 3 persen DBH antar-daerah berbatasan seharusnya dihitung berdasarkan panjang batas wilayah, bukan dibagi rata (bagito).
Blora kena dampak negatif
Arief pun memaparkan deretan dampak negatif yang Blora tanggung akibat aktivitas Migas Blok Cepu. Pertama, Krisis air di wilayah Kedungtuban karena air Bengawan Solo disedot untuk operasi Migas.
Kedua, beban lalu lintas dan infrastruktur rusak akibat aktivitas kendaraan berat di Cepu. Ketiga, pembangunan stagnan, sementara daerah tetangga menikmati limpahan DBH.
“Yang paling kena dampak Blora, tapi DBH-nya paling kecil. Ini ironis,” ujarnya. “Cepu memang terkenal, tapi yang kaya itu Bojonegoro. Blora cuma dapat nama doang!”
BACA JUGA: Perkuat Keadilan Restoratif, Pemkab Blora-Ditjenpas Jateng Wujudkan Pemidanaan Humanis untuk Anak
Ia juga mengungkap rencana Pemkab Blora mendorong eksplorasi lapangan Migas baru seperti Blok Gundih agar Blora bisa mendapatkan DBH yang lebih besar di masa depan.
“Bertetangga dengan daerah kaya itu enggak enak. APBD kita daripada Silpanya Bojonegoro aja masih kalah. Untuk bangun jalan saja, kita harus ngutang,” tuturnya.
Dengan nada yakin, ia menegaskan perjuangan Blora belum berhenti. “Kami akan terus berjuang. Kalau lobi tak berhasil, Judicial Review pasti jalan. DBH harus adil, bukan bagi rata!” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi
