“Kalau kita mencoba melihat sebagai konstruksi pelayanan publik, maka memang harus ada pengawasan. Ada pengawasan internal oleh Polri, ada Propam, ada Provos, Irwasda, dan seterusnya. Ini juga kami harapkan bisa optimal untuk teman-teman berkolaborasi dengan kami sebagai pengawas eksternal,” jelasnya.
Menurutnya, Ombudsman memiliki posisi penting karena sifatnya independen. Dengan begitu, lembaga ini bisa menjadi jembatan antara masyarakat dengan aparat.
“Makanya penting ada satu yang namanya pengawas eksternal. Ombudsman tidak berpihak kepada siapa pun, sehingga ini yang sedang kami bangun. Ketika mekanisme pengawasan eksternal berjalan baik, pelan-pelan kita bisa membangun kepercayaan publik,” tegas Farida.
Tekankan pentingnya transparansi dan penanganan antikekerasan
Lebih lanjut, Farida menilai keterbukaan informasi menjadi kunci agar masyarakat bisa menerima keputusan aparat. Utamanya saat penangkapan 327 orang pascaaksi demonstrasi beberapa hari lalu.
“Balik lagi dari awal adalah transparansi dan akuntabilitas. Sehingga kita bisa menerima, ‘oh iya, ini untuk satu hal malam ini dululah karena ada pertimbangannya’. Itu kan make sense, tapi penting untuk disampaikan,” kata Farida.
Perihal itu, Farida mengaku sudah berkoordinasi dengan Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto.
“Kami juga kemarin melihat komunikasi dengan Pak Artanto atau Pak Bidhumas cukup humanis, tapi itu kan sudah lewat sehari. Mungkin ini tidak tersampaikan dengan baik kepada teman-teman kuasa hukum atau pendamping hukum, sehingga muncul persepsi pendamping hukum kesulitan,” ujarnya.
BACA JUGA: Ada Bukti Kekerasan di Kasus Iko Juliant, LBH Semarang Nilai Polisi Tak Profesional: Pernyataannya Berubah-ubah
Farida menekankan, pendampingan hukum adalah hak yang tidak boleh terhalangi. Oleh sebab itu, Ombudsman juga membuka posko khusus untuk pencegahan kekerasan selama unjuk rasa.
“Begitu ada pendamping hukum, paling enggak bicara apa pun soal hukum, itu ada hak-haknya. Kami membuka posko termasuk untuk pencegahan kekerasan, dan ini sangat penting. Kita tidak akan mentolerir praktik kekerasan oleh siapapun. Karena begitu kekerasan terjadi, itu seperti spiral,” pungkas Farida. (*)
Editor: Farah Nazila