SOLO, beritajateng.tv – Orang-orang duduk di tikar, seadanya. Melingkar bersama Ganjar Pranowo, ialah para warga, dari ibu-ibu yang membawa anak-anak, bapak-bapak, hingga kaum muda kampung Bayan Krajan, sebuah kampung di Kadipiro, Solo.
Tema obrolan mereka ke sana-kemari, mengenai banyak hal. Mereka lebih sering bersenda gurau, membanyol, lalu gelak tawa pun meledak.
Ganjar tiba di kampung itu jelang pergantian hari. Pukul sebelas malam, lebih satu menit. Turun dari mobil, ia berjalan kaki menuju sebuah rumah.
Warga berjubel menunggu Ganjar tengah malam itu. Mereka penuh semangat menyambut, berebutan menyalami, hingga Ganjar tiba di rumah milik Susilo.
Meski terhitung larut malam, Ganjar melayani permintaan warga untuk menngobrol berlama-lama. Maka meriunglah mereka di situ.
Lantaran tikar tak cukup, banyak warga yang berdiri. Beberapa orang menyandar di tembok halaman. Mengenakan baju hitam berbalut jaket putih, Ganjar tampak lebih fresh. Boleh jadi sebab obrolan tengah malam itu penuh kelakar dan riuh gelak tawa.
Susilo senang bukan kepalang lantaran Ganjar memilih rumahnya untuk menginap. Bersama warga lain, ia menyiapkan kedatangan Ganjar semaksimal mungkin, meski menurutnya, maksimal itu juga berarti seada-adanya.
“Alhamdulillah,” cerita Susilo, “dibantu teman-teman relawan, keluarga saya bisa menerima kedatangan Pak Ganjar.”
Kisah Ganjar bersama warga lainnya
Kisah Ganjar dan Susilo sesungguhnya bukanlah sekadar tentang betapa bahagianya dikunjungi dan mengunjungi itu. Juga bukan kisah tentang menginap semalam. Gelak tawa, rebah ke pembaringan, terlelap, esok paginya mengopi, lantas melambai tangan, izin pamit.
Kisah keduanya datang dari sembilan tahun lampau, dari kesulitan nasib, kemiskinan yang menghimpit, dan mimpi anak-anak yang jauh dari keadaan baik. Sekolah, bagi Susilo, dan juga anak-anaknya, terlampau tinggi dari keadannya. Kesulitan yang menghimpit menjauhkan anak-anak-anaknya dari mimpi indah tentang bangku sekolah.
Ganjar Pranowo sesungguhnya juga lahir dari keluarga yang tak begitu jauh dari keadaan keadaan Susilo itu. Serba kekurangan, ayah Ganjar seorang polisi berpangkat rendah dan ibunya berdagang di toko kelontong, dan rasanya begitu susah mengantar semua anak menjemput mimpi.