Mereka dapat memilih untuk melanjutkan pelatihan sebagai seorang Atthasila atau kembali menjalani kehidupan sebagai umat biasa.
“Mereka bisa memilih. Dalam agama Buddha ada dua pola kehidupan. Pertama, pola kehidupan rumah tangga. Kedua, meninggalkan pola kehidupan rumah tangga. Dan itu semua pilihan, bergantung pada sejauh kapasitas kemampuannya, seberapa lama bisa menjalaninya,” tuturnya.
Atthasilani melepas keduniawian dengan memotong rambut
Melalui pelatihan Atthasilani, seluruh peserta menjalani kehidupan bak seorang Bhikku di Vihara Tanah Putih. Bahkan, mereka akan melakukan Pindapata atau berjalan kaki menerima makanan dari umat pada saat Tri Suci Waisak besok.
Saat menjalankan pelatihan Atthasilani, peserta tak boleh makan lewat dari tengah hari. Tak hanya itu, peserta tak diperkenankan mengenakan riasan wajah, wewangian, dan segala sesuatu yang bertujuan untuk mempercantik diri.
“Jadi mereka makannya dua kali, pagi jam 07.00 dan siang jam 11.00. Seeorang Atthasilani juga tidak boleh berias yang tujuannya untuk mempercantik,” ujarnya.
Ia mengatakan, sehari sebelum penasbihan Atthasilani, tepat satu hari sebelum bulan purnama seluruh peserta melakukan pemotongan rambut. Adapun filosofinya ialah rambut merupakan mahkota bagi seorang perempuan. Melepas mahkota tersebut bukanlah perkara yang mudah.
“Menjadi Atthasilani ini kan berarti melepas dari kehidupan duniawi. Salah satunya dengan memotong rambut yang merupakan mahkota bagi perempuan. Ini artinya melepaskan keduniawian,” pungkas Sila Guna. (*)
Editor: Ricky Fitriyanto