Nahasnya, ada pihak yang memanfaatkan anak itu untuk meraup pundi-pundi rupiah.
“Kan nuwun sewu (mohon maaf), ada beberapa contoh di Jateng, yang membuat seperti panti. Ternyata dulu pernah kejadian pada salah satu kabupaten, ternyata anaknya terlantar padahal masih kecil-kecil, mereka nyari uang dan sebagainya. Ini kan kembali lagi, kasihan sebenernya anak itu,” bebernya.
Kasus anak asuh Youtuber, pemerintah mengaku tak mempersulit
Ia menambahkan, kehadiran regulasi membuat pihaknya memiliki kontrol terhadap kepastian nasib anak-anak terlantar yang mereka asuh. Bukan semata-mata untuk mempersulit prosedur sekelompok orang maupun individu yang ingin membantu pemerintah.
“Sebenernya pemerintah itu bukan melarang atau menghambat masyarakat yang berkeinginan mendirikan panti, tetapi justru pemerintah itu ingin membantu masyarakat yang memang akan membuat LKS atau panti. Kita bisa kontrol, memastikan ‘oh iya ini benar-benar penanganannya sebaik-baiknya,” sambungnya.
Tegoch lantas membahas sedikit soal mekanisme perizinan LKS. Setiap LKS memiliki prosedur pengajuan izin yang berbeda-beda.
“Nanti ada surat izin operasional. LKS berdiri sesuai dengan wilayahnya. Kalau LKS hanya menangani masyarakat terlantar atau membutuhkan layanan dalam LKS, lingkupnya hanya wilayah kabupaten/kota setempat. Misalnya di Kota Semarang, berarti izinnya cukup Kota Semarang,” ujarnya.
Sementara itu, jika LKS itu menangani anak-anak terlantar dari luar kabupaten/kota, perlu surat izin operasional dari instansi tingkat provinsi. Begitu juga jika lintas provinsi izinnya ke pusat.
Terkait keberadaan LKS tak berizin, Tegoch memastikan saat ini LKS se-Jateng telah memperoleh izin. Sekitar 600 LKS sudah terdata dan menjalankan fungsinya sebagai lembaga.
“Sekali lagi, pemerintah itu tidak menghambat, justru kami membutuhkan masyarakat yang kepengin membantu. Kadang orang punya keinginan mau buat LKS, tapi kadang tidak tahu caranya bagaimana. Kita edukasi, kita berikan akses untuk itu,” pungkasnya. (*)
Editor: Ricky Fitriyanto