“Problemnya mungkin gagasan itu tidak sampai ke bawah atau ada distorsi. Misal, ada kampanye ‘tidak usah menekankan pada hafalan’ dalam Kurikulum Merdeka. Mungkin penerimaan guru itu tidak perlu ada hafalan. Nah, hal itu yang membuat melenceng dari apa yang direkomendasikan Kurikulum Merdeka,” jelasnya.
Anak SMP tak lancar membaca, Edi soroti salah paham kebijakan “tinggal kelas”
Edi pun menyadari banyaknya video di media sosial yang menampilkan anak usia SMP tak lancar membaca. Ia juga membenarkan bahwa Kurikulum Merdeka acap kali menjadi kambing hitam atas kegagalan siswa dalam memahami ataupun sekadar membaca.
“Literasi anak yang rendah juga muncul di media. Anak itu gak bisa baca, kalaupun bisa baca, anak itu gak paham pesannya. Gak bisa hitung-hitungan matematika dasar, tapi yang jadi kambing hitam Kurikulum Medeka,” ucap dia.
Menurutnya, hal itu terjadi lantaran guru dan pihak sekolah yang salah memahami kebijakan tinggal kelas dalam Kurikulum Merdeka.
BACA JUGA: DPRD Kota Semarang Dorong Pengembangan Fasilitas Belajar Kurikulum Merdeka
“Siswa tidak boleh tinggal kelas itu bagian dari kurang tepat memahami kebijakan. Jika ada siswa kelas 1 yang akan naik kelas 2, namun dia nilainya kurang di dua mapel, maka harusnya kasih pengayaan pada dua mapel itu saat dia sudah kelas 2,” terangnya.
Namun, kata Edi, yang ia temukan di lapangan berbeda. Guru dan pihak sekolah hanya menaikkan kelas para murid begitu saja.
“Yang jadi dugaan saya di lapangan, siswa ya guru naikkan [kelas] begitu saja, dua mapel yang kurang tadi itu gak mereka garap. Harusnya ada remedial teaching di dua mapel itu, tapi di lapangan gak berjalan karena pengin praktis aja. Jadinya SMP tidak bisa baca, SMP tidak bisa hitung dasar,” jelasnya.
Tak setuju ganti kurikulum
Lebih lanjut, Edi turut menanggapi opini warganet yang mengimbau agar dunia pendidikan kembali ke kurikulum sebelumnya, baik itu Kurikulum 2013 maupun KTSP tahun 2006 silam. Namun, pengembalian ke kurikulum lama tak semudah itu untuk mengubah kondisi, menurutnya.
Selain itu, untuk kembali menjalankan Kurikulum Merdeka pun bukan solusi yang tepat. Sehingga, kata dia, perlu ada kajian mendalam untuk menuntaskan permasalahan tersebut.
“Solusinya ya mengevaluasi secara komprehensif. Gak bisa kalau kita kembali ke belakang atau tetap menjalani Kurikulum Merdeka itu. Apalagi ada usul kembali ke KTSP 2006, itu terlalu jauh juga,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi