LAW of attraction merupakan suatu konsep yang tentunya tidak asing lagi di telinga kita, terlebih di kalangan Gen Z yang lekat dengan ruang digital. Pasalnya, law of attraction ini kerap dijadikan sebagai jargon para motivator maupun artis. Katakanlah, Steve Harvey, pembawa acara asal Amerika ‘Family Feud’, dengan kata “Like attracts like.” selain itu juga pendiri The Walt Disney Company, Walt Disney, “If you can dream it, you can do it.”
Jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kutipan kedua orang di atas tersebut memiliki makna yang sama. Yakni pikiran positif seseorang yang dapat memengaruhi kesuksesannya.
Law of attraction ini tak hanya populer di kalangan para pembaca buku, terutama bagi mereka yang menyukai buku-buku bertema self-development, prinsip tersebut juga seringkali muncul di sosial media seperti TikTok maupun Instagram. Video-video pendek khas reels menunjukkan ‘motivasi’ untuk mulai menerapkan law of attraction di kehidupan sehari-hari.
Prinsip law of attraction ini mirip-mirip seperti ajaran Buddha, yang menyebut, “Pikiran adalah segalanya. Apa yang kamu pikirkan, akan menjadi dirimu.” Konsep ini populer disebut sebagai hukum tarik-menarik. Yang mana, dianjurkan untuk memanifestasikan perkataan yang baik supaya menarik hal yang positif dalam kehidupan kita.
BACA JUGA: Gabung Komunitas dan Ikutan FOMO, Cara Jitu Gen Z Tumbuhkan Minat Literasi Baca Buku
Salah satu penerapannya adalah dengan mengatakan hal positif untuk menciptakan realitas yang kita inginkan, ini menurut Christy Whitman, seorang penulis buku asal Amerika. Sebagai contoh, mengubah kalimat “Saya khawatir yang saya lakukan tidak berhasil,” menjadi “Setiap tindakan yang saya lakukan membawa saya semakin dekat ke tujuan saya.”
Christy, bahkan mengklaim teori persamaan Albert Einstein, yakni E = mc2 ini membuktikan adanya teori tarik-menarik alias law of attraction.
Memang, memiliki pemikiran positif untuk menjalani hari-hari adalah hal yang bagus untuk penyemangat seorang individu tanpa perlu affirmasi dari orang lain. Namun, apakah hal tersebut nyata dan bisa diukur dengan nalar?
Logika mistika di kalangan Gen Z
Hal ini mengingatkan saya pada logika mistika yang dicetuskan oleh tokoh revolusioner RI, Tan Malaka yang sudah menyuarakan hal tersebut sejak tahun 1942. Logika mistika merupakan metode berpikir yang berlandaskan hal-hal berbau mistis dan segala sesuatu yang datangnya berasal dari hal-hal ghaib maupun roh nenek moyang. Dalam hal ini, dapat tersimpulkan bahwa konsep ini tidak memiliki dasar yang konkret dan argumennya tidak bisa kita ukur dengan data.
Tan Malaka menyebut logika mistika sebagai tradisi berpikir feodal karena ini adalah warisan dari sistem feodal yang tidak mendorong masyarakat untuk berpikir kritis. Di masa feodal, kekuasaan dan pengetahuan di kuasai oleh segelintir orang, sementara rakyat kebanyakan hanya bisa menerima tanpa banyak bertanya. Ini membuat masyarakat menjadi pasif dan mudah di kendalikan.