SEMARANG, beritajateng.tv – Pemerintah dan DPR RI telah menyepakati penambahan anggaran transfer ke daerah dari semula targetnya hanya sebesar Rp650 triliun menjadi Rp693 triliun untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026.
Menanggapi penambahan dana transfer itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah menyebut pengurangan dana transfer yang sebelumnya Presiden RI Prabowo Subianto umumkan cukup signifikan.
Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Tengah, Sumarno, menjelaskan, penurunan dana transfer yang sebelumnya tidak bisa dipandang ringan lantaran mencapai ratusan triliun. Hal itu Sumarno ungkap saat beritajateng.tv jumpai pada Selasa, 23 September 2025.
“Dana transfer kita turunnya agak signifikan. Itu bisa lihat dari nota keuangan yang Pak Prabowo bacakan pada 17 Agustus, turun sekitar Rp300 triliun ya,” ujarnya.
BACA JUGA: Ratusan Siswa SMA Wonogiri Keracunan MBG, Sekda Jateng: Perlu Asesmen SPPG-nya
Menurutnya, kenaikan Rp43 triliun yang belakangan Menteri Keuangan (Menkeu) RI Purbaya umumkan bukanlah tambahan dari angka Rp900 triliun, melainkan dari posisi Rp600 triliun setelah terpotong.
“Jadi yang kemarin naik itu bukan dari Rp900 triliun, tapi dari Rp600 triliun menjadi Rp643 triliun. Penurunannya masih cukup signifikan, hampir Rp300 triliun,” tegasnya.
Oleh sebab itu, Sumarno meminta semua pemerintah daerah di kabupaten/kota di Jawa Tengah, segera menyikapi perubahan ini dalam penyusunan APBD 2026. Ia meminta pemda tak terlena dalam menyusun anggaran belanja karena pengumuman kenaikan dana transfer tersebut.
“Jangan sampai nanti kita zonk pada saat menyusun APBD ya, seolah-olah dana transfer masih sama dengan 2025. Kalau belanja sudah dipasang, sumber dananya enggak ada, akhirnya defisit riil,” katanya.
Minta daerah tak dorong kenaikan PAD yang bebani masyarakat
Lebih jauh, Sumarno menyoroti dilema pemda dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Menurutnya, hampir semua sumber PAD di level daerah berbasis konsumsi masyarakat.
“Pajak kendaraan bermotor karena orang punya kendaraan, pajak rokok karena orang merokok, pajak penerangan jalan karena orang konsumsi listrik, pajak hotel dan restoran karena orang makan dan menginap. Jadi semua basisnya konsumsi,” ucap Sumarno.
Berbeda dengan pajak berbasis investasi yang pemerintah pusat kelola, lanjut Sumarno, daerah tak memiliki insentif yang bisa meringankan masyarakat untuk mendongkrak PAD.
“Kalau di pusat, basisnya investasi, ada kemudahan investasi jalan. Kalau di daerah, menaikkan PAD pasti dampaknya langsung membebani masyarakat. Itu dilema kami,” ucapnya.