SEMARANG, beritajateng.tv – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan ini menjadi sorotan usai maraknya kasus keracunan di sejumlah daerah. Di Jateng sendiri, kasus keracunan MBG baru-baru ini terjadi di Salatiga dan Banyumas.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Negeri Semarang (Unnes), Cahyo Seftyono, menyebut MBG merupakan program yang dilematis.
Di satu sisi, Cahyo menilai program itu penting untuk mendukung target Indonesia Emas 2045, meskipun bukan satu-satunya upaya. Namun di sisi lain, kata Cahyo, beban anggaran yang MBG perlukan tidaklah sedikit.
“Sebenarnya kan MBG ini cukup dilematis, penganggaran kita tidak cukup meng-cover itu, sehingga harus memanfaatkan pos-pos lain yang juga strategis. Tapi kalau bicara persiapan generasi emas, memang program seperti MBG bisa menjadi salah satu solusi, meski bukan solusi utama,” ungkap Cahyo via panggilan WhatsApp, Senin, 29 September 2025.
BACA JUGA: Percepatan dan Pengawasan Program, Satgas MBG Pusat Bakal Segera Berkantor di Jawa Tengah
Ia menegaskan, program ini harus dipandang sebagai kebutuhan yang mendesak, bukan semata kebijakan populis. Cahyo menyebut pemerintah perlu menata kembali skala prioritas serta persiapan agar pelaksanaan MBG tak sekadar formalitas belaka.
Pihaknya pun mendorong pemerintah memanfaatkan potensi lokal daerah dalam pelaksanaan MBG.
“Kalau memang dianggap penting dan urgent, maka harus dipikirkan ulang. Karena yang terjadi sekarang seperti asal ada saja, tapi eksekusinya tidak tepat sasaran. Kalau mau efektif, harus manfaatkan potensi di level lokal. Itu akan mengurangi cost sekaligus meminimalisir risiko keracunan,” sambung Cahyo.
Dalam hematnya, masalah yang muncul belakangan ini tidak hanya soal ketersediaan bahan pangan untuk MBG, namun juga sistem pendukung yang lemah, mulai dari alat makan hingga jaringan distribusi yang belum terjamin kesehatannya.
“Jangan hanya ketersediaan [makanan] saja, tapi bagaimana networking untuk mendukung kebijakan itu. Lebih penting persiapkan itu,” terang dia.
Sebut SPPG belum optimal, Cahyo dorong pemerintah libatkan kantin sekolah hingga ajak kampus kerja sama
Cahyo menilai, pelaksanaan MBG berbasis Satuan Pendidikan Penyelenggara Gizi (SPPG) terbukti belum optimal. Selain karena anggaran yang tinggi, kata Cahyo, rantai distribusi makanan yang panjang juga menambah biaya dan berpotensi menyebabkan siswa keracunan.
“Kalau menurut saya, optimal itu dari segi apa? Kendala kita kan karena penganggaran. Cost besar, rantai distribusi panjang, akhirnya tidak efektif,” kata Cahyo.
Ia mengungkap, alternatif yang lebih realistis yaitu melibatkan kantin sekolah hingga kerja sama dengan kampus yang memiliki program studi (prodi) kesehatan atau gizi.
“Di medsos juga banyak yang bilang, kenapa tidak kerja sama dengan kantin atau warung yang bisa dijamin sterilisasinya? Bisa juga libatkan kampus, misalnya dari MIPA atau kesehatan; mereka bisa melakukan kontrol kualitas makanan. Itu akan jauh lebih murah dari segi cost,” jelasnya.