SEMARANG, beritajateng.tv – Kasus luar biasa (KLB) keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terjadi di sejumlah daerah Jawa Tengah memantik perhatian para ahli gizi.
Ketua Jurusan Gizi Poltekkes Semarang, Setyo Prihatin, menegaskan bahwa penyelenggaraan makanan dalam jumlah besar bukan perkara mudah, sehingga perlu pengawasan ketat dari hulu hingga hilir.
Menurutnya, pemicu keracunan makanan bisa dari berbagai titik, mulai dari bahan pangan, proses pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi.
“Keracunan bisa karena bahan makanan yang sudah rusak atau terkontaminasi mikroorganisme. Masalahnya, kalau tidak ada data sejak menerima bahan, proses pengolahan hingga distribusi, sulit melacak penyebab pastinya,” jelas Setyo saat beritajateng.tv hubungi pada Selasa, 30 September 2025.
BACA JUGA: Muncul Dugaan Keracunan MBG, SPPG Bersertifikat Laik Sehat di Kabupaten Semarang Baru Ada Satu
Setyo mengungkapkan, proses penyimpanan menjadi titik rawan. Bahan pangan yang datang sore hari dan pengolahan baru malamnya, lalu pendistribusian siang, memberi jeda panjang yang berpotensi memicu kontaminasi.
“Penyimpanan bahan makanan tidak bisa sembarangan. Sayur, telur, ikan, dan ayam punya syarat suhu berbeda. Jika tidak terpenuhi, mikroorganisme mudah tumbuh. Distribusi dengan suhu tak terjaga juga bisa jadi sumber cemaran,” katanya.
Ia menekankan perlunya fasilitas penyimpanan sesuai standar, termasuk ruangan dengan suhu khusus. “Investasi memang besar, tapi wajib demi keamanan pangan,” tambahnya.
Keterbatasan tenaga ahli gizi dalam menyiapkan MBG
Dalam kasus MBG, jumlah porsi yang dapur SPPG siapkan mencapai lebih dari 3 ribu per hari. Namun, ironisnya hanya ada satu ahli gizi yang bertugas.
“Di rumah sakit, 400 porsi saja yang mengawasi minimal sembilan ahli gizi. Bagaimana mungkin 3 ribu porsi pengawasnya satu orang saja? Itu jelas di luar batas kemampuan,” tegasnya.
Padahal, peran ahli gizi tak sebatas menyusun menu, melainkan juga mengawasi pemilihan bahan, pengolahan, hingga distribusi.