SEMARANG, beritajateng.tv – Anggota DPD RI asal Jawa Tengah, Muhdi, memberikan catatan penting terhadap pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Terlebih, kasus keracunan MBG saat ini marak terjadi, tak terkecuali di Jawa Tengah.
Ia menjelaskan, saat ini DPD RI tengah membahas sejumlah masukan, salah satunya soal desentralisasi pengelolaan dapur MBG. Menurutnya, dapur MBG tak harus sebesar sekarang, yakni menggunakan sistem Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG.
Melainkan, kata Muhdi, dapur tersebut bisa dibagi lebih kecil lagi agar kebersihan dan keamanan makanannya semakin terjamin. Hal itu Muhdi ungkap saat dijumpai Jumat, 3 Oktober 2025.
“Bahkan saya sendiri ingin menawarkan, misalkan di sekolah elit apalagi sekolah swasta, mungkin enggak penawarannya sekolah itu yang melaksanakan sendiri? Jadi di-desentralisasi-kan. Sekolah-sekolah elit rata-rata muridnya banyak dan yayasannya cukup settle,” ucap Muhdi.
Muhdi mencontohkan, sekolah dengan jumlah siswa seribu orang seharusnya mendapat kewenangan mengelola sendiri anggaran MBG. Dengan cara itu, dana yang tersedia bisa lebih banyak diwujudkan dalam bentuk makanan, bukan habis untuk biaya operasional.
“Semakin kecil jumlah layanannya, misal bisa seribu atau 500 siswa, saya kira lebih terjamin untuk kemungkinan terjadinya keracunan, karena kan masakannya lebih fresh,” tambahnya.
BACA JUGA: Imbas Dugaan Keracunan MBG di SDN Ungaran 01, Orang Tua Murid Prihatin Dampak Trauma Anak
Ia juga menyarankan agar tidak semua pola distribusi MBG menggunakan ompreng. Menurutnya, bila sekolah mengelola sendiri, bisa saja makanan tersajikan dengan piring atau model prasmanan.
“Kalau langsung saja [menyajikan makanan] di situ itu kan kemungkinan makanan basi itu tidak terjadi,” kata Muhdi.
Ia mencontohkan kasus di Maluku dan Manggarai Barat, yang mana pengiriman MBG ke pulau-pulau kecil sering terlambat, sehingga makanan tersebut sampai dalam kondisi tidak layak.
“Kemarin kami ke Maluku dan Manggarai Barat. Bupatinya mengeluh karena masyarakatnya yang ada di pulau-pulau kecil, kalau pengirimannya dari katakanlah pulau besar, membutuhkan waktu yang panjang. Maka desentralisasi itu menurut saya bisa memecah dapur MBG yang besar,” ujar Muhdi.
Pertanyakan sasaran MBG, Muhdi ungkap mitra lebih suka bikin dapur di kota dan sasar SMP dan SMA
Selain persoalan teknis distribusi, Muhdi juga menyoroti soal sasaran penerima MBG. Ia menyebut, penerima manfaat justru banyak terkonsentrasi di kota besar, sementara sekolah di pinggiran yang lebih membutuhkan belum tersentuh. Hal itu menurutnya tak lepas dari faktor pengusaha atau mitra MBG itu sendiri.