SEMARANG, beritajateng.tv – Kalimat “Kota ini dibangun dengan keringat buruh” kembali terdengar di tengah hiruk-pikuk Kota Semarang.
Seruan itu menjadi simbol perjuangan para pekerja yang menuntut keadilan dari pemerintah kota agar segera menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) tahun 2026 dengan besaran yang layak.
Bagi para buruh, Semarang bukan sekadar tempat bekerja, melainkan rumah yang ikut mereka bangun dengan tenaga dan waktu. Namun di tengah pembangunan yang pesat, para buruh merasa kesejahteraan mereka masih tertinggal.
Hingga kini, mereka menilai belum ada kebijakan konkret dari Pemerintah Kota Semarang yang benar-benar berpihak kepada kaum pekerja.
“Upah buruh di Semarang masih yang terendah di antara kota metropolitan lain di Indonesia. Ini menjadi catatan buruk bagi pemerintah kota,” ujar Ahmad Zainudin, aktivis buruh dari Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan (FSP KEP).
BACA JUGA: Temui Dewan, Serikat Buruh Desak UMK Kota Semarang 2026 Naik Jadi Rp4,1 Juta
Aksi ini juga membawa pesan kuat melalui kalimat “Poverty is not eternity” atau “Kemiskinan bukanlah keabadian”.
Bagi mereka, kemiskinan bukan takdir yang harus mereka terima selamanya. Dengan kebijakan yang tepat dan keberanian dari pemimpin daerah, kesejahteraan dapat terwujud.
Selain mendesak pemerintah daerah, para buruh juga menyoroti kebijakan pemerintah pusat yang dinilai terlalu membatasi kewenangan kepala daerah dalam menentukan upah.
Ancaman sanksi terhadap kepala daerah yang menetapkan upah di atas ketentuan di anggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sosial dalam Pancasila.
Sebagai bentuk keprihatinan dan perlawanan damai, Ahmad Zainudin bersama perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJaT) menggelar aksi Topo Pepe di depan Balaikota Semarang, Jalan Pemuda, Kamis-Jumat, 6-7 November 2025.













